Kamis, Juli 24, 2008

nation-state dalam konsturksi bingkai kyai

NATION-STATE DALAM KONSTRUKSI BINGKAI KYAI

resensi-santri.jpgPeresensi: **M. Nur Fa'id
Judul Buku: Nasionalisme Kiai; Konstruksi Nasionalisme Berbasis Agama
Penulis: KH Ali Maschan Moesa
Penerbit: LKiS, Yogyakarta
Cetakan I:
November, 2007
Tebal Buku: xxii + 358 Halaman

Siapa tak kenal dengan Ali Maschan Moesa, seorang Poltikus sekaligus sebagai figure seorang kyai, sosok ini dilahirkan di Tulungagung pada 1 januari 1956, pendidiakn dasar sampai dengan menegah keatas ia selesaikan didaerah tempat kelahirannya sendiri, kemudian ia melanjutkan pendidikan staratanya di fakultas Adab jurusan sastra jurusan Arab pada IAIN Sunan Ampel. Selanjutnya karena belum puas dengan jenjang pendidikan yang dilaluinya kemudian melanjutkan pendidikan S2 di bidang ilmu Social di PPs Universitas Airlkangga (1988). Sehingga banyak kajiannya yang menyinggung mengenai social dan agama. Karena selain dalam pendidikan formal beliau juga mengenyam pendidikan non formal, beliau pernah nyantri dibeberapa pondok pesantren seperti: Ponpes Rubatus salafiyyah tulungagung, Ponpes Al-Ishah Bandar Kidul kediri, ponpes al-Hikmah purwosari Kediri, dan Ponpes Bahauddin ngelon sepanjang sidoarjo.

Pada jenjang pendidikan di perguruan tinggi beliau banyak aktif di beberapa organisasi baik organisasi kemahasiswaan seperti PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), hal ini ia butuhkan dengan beberapa kali telah menduduki ketua di organ ini mulai dari pengurus rayon sampai yang terakhir adalah sebagai ketua umum koordinator cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) wilayah jawa timur (1984-1989. selain di organisasi kemahsiswaan ia juga aktif di organisasi keagamaan yang beberapa kali menduduki kepengurusan struktural didalamnya dalam posisi sebagai ketua wilayah NU jawa timur (1999-sampai sekarang).

Tidak lagi menjadi sebuah fenomena baru yang ada pada saat sekrang ini adanya perbedabatan mengenai agama dan negera. Dua hal ini adalah suatu entitas yang mana tidak bisa di pisahkan karena keduanya adalah satu aspek rangka dalam berkehidupan.

Banyak pihak menilai bahwa agama bertentangan dengan nasionalisme, dan bahkan ia sering dianggap sebagai faktor pengrusak keutuhan sebuah bangsa. Pendapat yang semacam ini tidak lain bukan bicara mengenai nasionalisme secara utuh, tetapi lebih karena adanya suatu kepentingan global, yang mana digunakan untuk melanggengkan hegemoni negara-negara kapitalis.

Untuk menipis kepentingan yang ada sekarang ini yang mana lebih memojokkan peran dan fungsi agama, maka kiranya kita perlu untuk bersama-sama bersatu melawan dan menghilangkan hal semacam itu. Umat islam adalah umat yang dianggap sebagai penentang nasionalisme, dan penghambat kerja negara dalam mewujudkan Nation-State.

Dalam buku ini Ali Maschan Moesa mencoba untuk membedah dan menipis hal yang itu yang pada dasarnya adalah untuk memojokkan fungsi dan peran agama. Dalam kajian ini Ali Maschan Moesa akan mengulas peran para pelaku utama agama yang dalam ini dipegang oleh yang namanya disebut sebagai kyai. Kyai dalam agama dan negara sangat penting perannya melihat bahwa kyai sebagai figur yang dipercayai dan dianut oleh umat. Dari peran yang penting inilah sebuah sosok kyai ini yang menjadi incaran orang yang menganggap agama sebagai penentang nasionalisme. Makanya seorang figur publik harus memiliki sebuah pendirian dan pegangan teguh untuk benar-benar mengajarkan ajaran islam.

Sebenarnya dalam kaitanya dengan Nation-State seorang figur kyai mempunyai peran sentral yang nantinya akan dianut oleh umat. Didalam buku ini ditawarkan bahwa ada tiga dasar bentuk mengenai tata aturan dalam kaitannya dengan nation-state. Hal yang pertama, adalah peran kyai secara sekulerlastik artinya di dalam ini antara negara dan agama mempunayi sebuah peran yang berbeda, antara pelaku agama dan negara harus berbeda orang. Sehingga mengakibatkan tidak adanya keseimbangan antara keduanya dan dua aspek permaslahan tidak akan bisa ketumu yaitu masalah kenegaraan dan masalah kebangsaan. Kedua, adalah bersifat politik tradisional, politik yang ini mengisyaratkan adanya percampuran antara keduanya,kelemahan dari politik ini adalah tidak bisa berkeseimbanganya kehidupan berbangsa yang ada dalam negara, politik ini bertujuan untuk mendirikan Dar-islam atau di sering disebut sebagai Pan-Islamisme, kenyataan yang ada bahwa sebuah landasan untuk mendirikan yang namanaya Dar-Islam tidak ada, malah yang ada adalah mengenai kebangsaan dan negara yang tidak berlandaskan agama, dan agama bukan menganjurkan negara agama, hal ini bisa diketahui pada Piagam Madinah yang memberikan suatu gambaran dan contoh dalam mendirikan negera secara kebangsaan bukan cara mendirikan Negara secara islam itu berdasarkan atas nilai kebangasaan bukan atas nilai keagamaan yang aturanya harus di buat untuk negara.

Ketiga, politik simbiotik (Moderat) dalam islam, politik semcam ini sebagai jalan tengah untuk memberikan sebuah gambaran tentang peran masing-masing institusi yaitu institusi agama dan institusi negara. Agama berperan untuk membentuk moral bangsa dan negara berperan utnuk memberikan perlindungan terhadap agama dan pelaku keagamaan dan sebagai pembantu untuk menyebarkan nilai-nuilai agama. Oleh sebab itu sebenarnya agama dan negara itu pisah, tetapi dikarenakan keduanya saling membutuhkan maka dari saling mmebutuhkan itulah keduanya tidak bisa dipisahkan.

Penulis mencoba membuat sebuah penelitian sebenarnya apa sih yang banyak dianut oleh para kyai kita dalam berpolitiknya, ternyata para kyai kita banyak mengikuti dan menganut sistem politik yang ketiga yaitu politik yang bersifat simbiotik. Karena kyai kita melihat bahwa kita hidup dalam negara yang plural dimana di samping kita terdiri dan berdiri agama dan kepercyaan yang berbeda dari kita. Sehingga atas dasar kerukunan dan atas nama kebangsaan inilah para kyai kita lebih suka mempergunakan acuan politik simbiotik itu.

Sejarah mencatat dalam penderian bangsa ini, peran yang dimainkan oleh para kyai dalam memperjuangkan dan mengawal kemerdekaan sangat pentng. Para publik figur ini memainkan dan menggunakan dua peran yaitu negara dan bangsa, Peran kyai terhadap konstruksi negara ini sudah tidak diragukan lagi dan hal itu memang sudah terbukti ketika dalam pembentukan dasar negara dan pengawalan setelah kemerdekaan. Dan yang kedua adalah peran kyai dalam konstruksi kebangsaan, pada dasarnya kebangsaan dalam hal ini adalah bagaimana menciptakan umat yang patuh pada nilai-nilai agama dan patuh juga terhadap nilai-nilai bangsa dalam hal ini adalah aturan kenegaraan. Tidak bisa di pungkiri bahwa sebuah nilai yang diajarkan pada agama adalah nilai-nilai yang bersifat pada tataran moral. Dan pada tataran moral inilah yang menumbuhkan rasa bagaimana harus bersikap dan bagaimana harus membawa bangsa ini kedepan yang lebih maju.

Melihat peran kyai dalam nation-state ini sangatlah vital dan penting perlu kiranya kita menyadari bahwa pluralitas yang ada pada bangsa ini tidak bisa di hindari dan tidak bisa di tentang dan hanya sebuah pengawalan yang harus kita di gunakan. Tetapi sayangnya para kyai kita tidak mau untuk melakukan pengawalan itu secara bersama-sama mereka lebih suka melakukan debat tentang halal-haram dan tidak suka bila berdebat untuk mencari soluis tntang problem kebangsaan. Dalam buku ini penulis memberikan sebuah gambaran mengenai peran para elit kayai kita dalam menentukan arah bangsa berjalan kedepan.

Senin, Juli 14, 2008

Peradilan Tata Usaha negara

RUANG LINGKUP KOMPETENSI

PERADILAN TATA USAHA NEGARA

I. PENDAHULUAN

Dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat tiga pilar kekeuasaan negara, yaitu Kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif (Kehakiman). Berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman, dalam Psl 24 UUD 1945 (Perubahan) Jo. UU No. 4 Thn 2004, ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) sebagai lingkungan peradilan yang terakhir dibentuk, yang ditandai dengan disahkannya Undang-undang No. 5 tahun 1986 pada tanggal 29 Desember 1986, dalam konsideran “Menimbang” undang-undang tersebut disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) adalah untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram serta tertib yang menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan para warga masyarakat. Dengan demikian lahirnya PERATUN juga menjadi bukti bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Dari ketiga pilar negara tersebut diatas yang paling mempunyai peran besar adalah dalam pilar bidang eksekutif, maka untuk itu perlu adanya sebuah pengontrol untuk memmantau eksekutif ini. Salah satu bentuk kontrol yudisial itu atas tindakan administrasi negara adalah melalui lembaga peradilan, dalam hal ini adalah peradilan tata usaha negara yang di bentuk denga uu no. 5 th 1986, yang selanjutnya akrena daanya tuntutan reformasi di bidang hukum, telah disahkan uu no. 9 th 2004 sebagai pengganti ayas uu no. 5 th 1986.

Perubahan yang sangat mendasar dari UU No. 5 Tahun 1986 adalah dengan dihilangkannya wewenang pemerintah ic. Departemen Kehakiman sebagai pembina organisasi, administrasi, dan keuangan serta dihilangkannya wewenang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan umum bagi hakim PERATUN, yang kemudian semuanya beralih ke Mahkamah Agung. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan indepedensi lembaga PERATUN. Di samping itu adanya pemberlakuan sanksi berupa dwangsom dan sanksi administratif serta publikasi (terhadap Badan atau Pejabat TUN (Tergugat) yang tidak mau melaksanakan putusan PERATUN, menjadikan PERATUN yang selama ini dinilai oleh sebagian masyarakat sebagai “macan ompong”, kini telah mulai menunjukan “gigi” nya.

Sejak mulai efektif dioperasionalkannya PERATUN pada tanggal 14 Januari 1991 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1991, yang sebelumnya ditandai dengan diresmikannya tiga Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) di Jakarta, Medan, dan Ujung Pandang, serta lima Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di jakarta, Medan, Palembang, Surabaya dan Ujung Pandang. Kemudian berkembang, dengan telah didirikannya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di seluruh Ibu Kota Propinsi sebagai pengadilan tingkat pertama. Hingga saat ini eksistensi dan peran PERATUN sebagai suatu lembaga peradilan yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang memeriksa, memutus dan mengadili sengketa tata usaha negara antara anggota masyarakat dengan pihak pemerintah (eksekutif), dirasakan oleh berbagai kalangan belum dapat memberikan kontribusi dan sumbangsi yang memadai di dalam memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat serta di dalam menciptakan prilaku aparatur yang bersih dan taat hukum, serta sadar akan tugas dan fungsinya sebagai pelayan dan pengayom masyarakat.

Maka dari itu agar dalam mengetahui tentang pengetahuan dalam PERATUN oleh sebab itu penulis akan membahas tengtang beberapa hal yang berkaitan dengan, ruang lingkup, dan kompetensi PERATUn. Untuk lebih jelasnya maka akan saya jabarkan dalam pembahasan berikut setelah ini.

II. PEMBAHASAN

  1. Ruang lingkup PTUN (Subjek, dan objek) Dalam PERATUN ?

Dalam kajian yang akan di bahas dalam ruanglingkup ini yang ada di peratun ada beberapa hal tang meliputi aspek yang sangat perlu untuk diketahui. Dan spek-spek itu dalah : bidang sengketa (Tata Usaha negara), Subjek sengketa(orang atau badan hukum perdata dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara), Objek Sengketa (Keputusan Tata Usaha Negara.). Suatu sengketa Tata Usaha Negara merupakan sengketa dalam bidang Tata Usaha Negara. Oleh karena itu, yang harus diperhatikan adalah pengertian Tata Usaha Negara sehingga dapat diketahui batas-batas Tata Usaha Negara itu sendiri. Pasal 1 angka 1 UU-PTUN merumuskan Tata Usaha Negara yang berbunyi :“Tata Usaha Negara adalah Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah”. Menarik untuk diperhatikan karena dalam rumusan ini ada dua istilah ,yaitu “Tata Usaha Negara” dan “Administrasi Negara”. Ketika masih RUU-PTUN, istilah “Administrasi Negara” tersebut tidak ada dan muncul setelah menjadi UU-PTUN. Bersamaan dengan itu muncul pula ketentuan Pasal 144 UU-PTUN yang menegaskan bahwa UU-PTUN dapat disebut Undang-Undang Peradilan Administrasi Negara. Dengan demikian, Tata Usaha Negara sama dengan Administrasi Negara. Istilah “Administrasi Negara” begitu penting untuk dicantumkan dalam UU-PTUN. Konsekuensinya jika istilah “Administrasi Negara” tidak dicantumkan dalam UU-PTUN. Di satu sisi, dipergunakan istilah (Peradilan) Tata Usaha Negara dengan maksud untuk menjaga sinkonronisasi perundang-undangan baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal dibuatnya istilah (Peradilan) Tata Usaha Negara agar sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-garis BesarHaluan Negara pada “Pola Umum Pelita Ketiga”di bagian “Politik, Aparatur Pemerintah, Hukum, Penerangan dan Pers, Hubungan Luar Negeri” dalam bidang “Hukum”.

Sedangkan secara horizontal agar sesuai dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (berikut perubahannya), Undang-undang Nomor 14 Tahun l985 tentang Mahkamah Agung (berikut perubahannya), maupun Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Ketiga undang-undang ini menggunakan istilah Peradilan Tata Usaha Negara. Jika tidak dipergunakan istilah Peradilan Tata Usaha Negara, misalnya saja menggunakan istilah Peradilan Administrasi Negara, maka akan menimbulkan kekhawatiran bahwa Peradilan Administrasi Negara itu bukan merupakan peradilan sebagaimana yang dimaksud oleh peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pembentukannya. Atas dasar inilah maka UU-PTUN tetap konsisten menggunakan istilah (Peradilan) Tata Usaha Negara.

Meskipun demikian atas dasar pertimbangan teoritis akhirnya UU-PTUN menerima istilah (Peradilan) Administrasi Negara. Karena dalam literatur istilah Tata Usaha Negara mengandung pengertian yang sempit, yaitu hanya meliputi apa yang menjadi tugas pokok daripada kantor. Perihal batasan Tata Usaha Negara ini Prajudi Atmosudirdjo[1] merumuskan sebagai berikut :

Tata Usaha Negara (Bureaucracy) adalah keseluruhan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan ketatausahaan dalam dinas Administrasi Negara atau penyelenggaraan pemerintahan negara dengan jalan dan cara-cara rutin serta prosedur-prosedur tertentu (yang pada umumnya bersifat kaku atau infleksibel), yang antara lain terdiri atas surat-menyurat kedinasan negara, kearsipan, tata pendaftaran (registratiewezen), dokumentasi, ekspedisi, inventarisasi, pemuatan, dan penyimpanan surat-surat keputusan, statistisasi, legalisasi, dan sebagainya. Oleh beliau[2] dikatakan lebih lanjut bahwa mengenai hal-hal tersebut terdapat peraturan-peraturan, undang-undang, dan sebagainya yang seluruhnya dapat dihimpun menjadi Hukum Tata Usaha Negara. Hukum Tata Usaha Negara ini hanya merupakan salah unsur dari pengertian Hukum Administrasi Negara. Hukum Administrasi Negara itu merupakan hukum yang mengendalikan disiplin dan operasi daripada Administrasi Negara yang meliputi Tata Pemerintahan, tata Usaha Negara, Tata Organisasi dan Manajemen Rumah Tangga Negara, Tata Pembangunan Negara, dan Administrasi Lingkungan.

Dapat dikatakan apabila istilah (Peradilan) Administrasi Negara tidak dimuat dalam UU-PTUN maka jelas ruang lingkup kompetensi Peratun hanya terbatas pada Tata Usaha Negara saja dan tidak mencakup ruang lingkup istilah Administrasi negara secara keseluruhan. Maksud pembentuk undang-undang adalah membentuk Peratun yang mempunyai kompetensi yang luas sebagaimana tercakup dalam pengertian Administrasi Negara. Karena itulah, agar terpelihara adanya sinkronisasi perundang-undangan dan secara teoritis dapat dipertanggungjawabkan, maka pembentuk undang-undang mengambil jalan tengah, yaitu UU-PTUN menyamakan istilah Tata Usaha Negara dengan Administrasi Negara. Artinya, yang dimaksudkan Tata Usaha Negara oleh UU-PTUN itu adalah Administrasi Negara (Pasal 1 angka 1 dan Pasal 144 UU-PTUN). Jadi dengan dimuatnya istilah (Peradilan) Administrasi Negara dalam UU-PTUN pada hakikatnya merupakan perluasan terhadap kompetensi Peratun.

Ruang lingkup bidang Tata Usaha Negara, menurut Pasal 1 angka 1 UU-PTUN adalah “urusan pemerintahan”. Adapun yang dimaksud dengan urusan pemerintahan itu berdasarkan penjelasan UU-PTUN adalah kegiatan yang bersifat eksekutif. Jika kita mengikuti UU-PTUN maka UU-PTUN masih menganut ajaran trias politika dan dengan demikian memberikan arti yang sempit terhadap bidang urusan pemerintahan, yakni kegiatan-kegiatan dalam eksekutif saja. Dalam perkembangan sekarang pada kenyataannnya penyelenggaraan urusan pemerintahan tidak lagi dapat dikotak-kotakan dalam kekuasaan-kekuasaan yang terpisah satu dengan yang lain dan urusan pemerintahan pada zaman sekarang ini bukan lagi terbatas pada pelaksanaan ketentuan peraturan-peraturan atau undang-undang saja. Ini berarti bahwa urusan pemerintahan bukan hanya kegiatan-kegiatan yang terdapat dalam bidang eksekutif melainkan terdapat pula dalam bidang kekuasaan lain, baik dalam bidang legislatif maupun yudikatif. Karena itu adalah tepat apabila urusan pemerintahan itu diartikan secara luas dan tidak diartikan secara sempit sebagaimana dimaksud oleh UU-PTUN, yaitu kegiatan-kegiatan dalam bidang eksekutif saja.

Kemudian kriteria kedua, yaitu subjek dalam sengketa Tata Usaha Negara adalah orang atau badan hukum perdata dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Memperhatikan ketentuan Pasal 4 (berikut penjelasannya) UU-PTUN, maka “orang” sebagai subjek sengketa Tata Usaha Negara bisa warga negara Indonesia maupun warga negara asing. Menurut hukum “orang” merupakan subjek hukum karena sebagai pendukung hak. Meskipun demikian tidak semua “orang” diperbolehkan bertindak sendiri dalam melaksanakan hak-haknya melalui perbuatan hukum. Dengan perkataan lain, terdapat golongan “orang” yang menurut hukum dianggap “tidak cakap” untuk melakukan perbuatan hukum, misalnya orang yang belum dewasa (minderjarig) atau orang yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele).

Terhadap golongan “orang” yang menurut hukum “tidak cakap” untuk melakukan perbuatan hukum tersebut, apakah dapat mengajukan gugatan sendiri atau tidak dalam sengketa Tata Usaha Negara, UU-PTUN tidak mengaturnya. Dalam sengketa Tata Usaha Negara tidak mustahil subjek “orang” itu adalah mereka yang masih di bawah umur, misalnya Keputusan Tata Usaha Negara yang isinya memberhentikan seorang murid Sekolah Dasar (SD). Untuk mengatasi hal tersebut maka kita dapat menggunakan literatur dalam hukum perdata, yaitu harus diwakili oleh orang yang berhak untuk mewakili kepentingan golongan “orang” dimaksud.

Sekarang bagaimana halnya dengan pengertian “badan hukum perdata” sebagai subjek dalam segketa Tata Usaha Negara. Sama halnya dengan subjek “orang”, UU-PTUN juga tidak memberi batasan untuk dapat menentukan suatu “badan hukum perdata”. Karena itu guna mencari tahu pengertian badan hukum perdata, sekali lagi, kita harus membuka literatur dalam hukum perdata.

Sebagaimana diketahui bahwa perjanjian merupakan dasar pendirian persekutuan. Pengertian persekutuan itu sendiri dirumuskan dalam Pasal 1618 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) sebagai berikut :“Persekutuan adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan dirinya untuk memasukan sesuatu (inbreng) ke dalam persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan (kemanfaatan) yang diperoleh karenanya”. Jadi untuk dapat disebut sebagai persekutuan, maka dalam perjanjian harus terkandung maksud untuk mencari keuntungan. Apabila dalam perjanjian tidak terkandung maksud untuk mencari keuntungan, maka hal ini dikenal dengan nama perkumpulan. Sebagaimana dikemukakan oleh Indroharto[3] bahwa menurut yurisprudensi AROB suatu perkumpulan dapat dianggap sebagai suatu badan hukum diperlukan 3 (tiga) syarat yaitu :

1. adanya lapisan anggota-anggota; hal ini dapat dilihat pada pengadministrasian anggota-anggotanya;

2. merupakan suatu organisasi dengan suatu tujuan tertentu; sering diadakan rapat anggota, diadakan pemilihan pengurus, adanya kerja sama antara para anggota dengan tujuan fungsionil secara kontinyu;

3. ikut dalam pergaulan lalu lintas hukum sebagai suatu kesatuan; umpama rundingan-rundingan dengan instansi-instansi pemerintah selalu sebagai suatu kesatuan, mengajukan gugatan atau keberatan sebagai suatu kesatuan.

badan hukum itu oleh beberapa para ahli hukum sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Chaidir Ali antara lain memberikan batasan sebagai berikut :

1. R.Subekti.

“Badan hukum adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim”.

2. Meyers.

“Badan hukum adalah meliputi sesuatu yang menjadi pendukung hak dan kewajiban”.

3. Wirjono Prodjodikoro.

“Badan hukum adalah badan yang di samping manusia perseorangan juga dapat dianggap bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain”.

Jadi agar mempunyai kapasitas sebagai “badan hukum perdata” sehingga dengan demikian dapat menjadi subjek dalam sengketa Tata Usaha Negara maka persekutuan-persekutuan maupun perkumpulan-perkumpulan harus memenuhi syarat sebagai badan hukum perdata. Jika tidak, maka gugatan yang diajukan akan dinyatakan tidak diterima meskipun mereka dituju oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara.

Dalam hukum acara Peratun “orang atau badan hukum perdata” lah yang mempunyai hak untuk menggugat. Dalam hal bagaimana hak untuk menggugat itu dapat dipergunakan, yaitu apabila orang atau badan hukum perdata merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara, demikian ditentukan oleh Pasal 53 ayat (1) UU-PTUN yang berbunyi antara lain : “Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan …”. Ini berarti gugatan dapat diajukan baik oleh mereka yang dituju oleh Keputusan Tata Usaha Negara maupun oleh pihak ketiga, yaitu mereka yang tidak dituju oleh Keputusan Tata Usaha Negara. Mereka baru dapat menggunakan haknya untuk mengajukan gugatan apabila merasakan ada kepentingan yang dirugikan akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara. Pengertian kepentingan itu sendiri dalam kaitannya dengan Hukum Acara Peratun, menurut Indroharto[4] mengandung dua arti, yaitu :

1. Nilai yang harus dilindungi oleh hukum.

Nilai yang dilindungi dapat bersifat menguntungkan maupun merugikan (baik materiil atau immateriil, individual atau umum) yang timbul atau mungkin akan timbul oleh keluarnya Kepurusan Tata Usaha Negara. Bobot nilai yang harus dilindungi oleh hukum ditentukan oleh dua faktor, yaitu :

a. Faktor yang berkaitan dengan penggugat.

Suatu kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum baru ada apabila kepentingan tesebut :

1). Ada hubungannya dengan penggugat itu sendiri artinya penggugat harus mempunyai kepentingan sendiri.

2). Bersifat pribadi artinya penggugat memiliki suatu kepentingan untukmenggugat yang jelas yang dapat dibedakan dengan kepentingan orang lain.

3). Bersifat langsung artinya yang terkena secara langsung itu adalah kepentingan penggugat sendiri dan kepentingan tersebut bukan diperoleh dari orang lain.

4). Secara objektif dapat ditentukan baik luas maupun intensitasnya.

Kepentingan yang bersifat materiil tidak mengalami kesulitan dalam menentukan. Dalam menentukan adanya kepentingan immateriil, maka kepentingan itu selain bersemayam dalam diri penggugat sendiri juga secara objektif bersemayam dapat pendapat umum. Selain itu kepentingan yang bersifat immaterial harus pula dapat ditentukan bahwa kepentingan itu melekat pada penggugat sendiri, bersifat pribadi, dan melekat secara langsung kepadanya.

b. Faktor yang berhubungan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.

Di sini penggugat harus dapat menunjukkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang digugatnya itu merugikan dirinya secara langsung. Hanya Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan akibat hukum yang dikehendaki oleh Badan atau Pejabat tata Usaha Negara yang mengeluarkannya sajalah yang mempunyai arti untuk digugat.

2. Kepentingan proses artinya apa yang hendak dicapai dengan melakukan suatu proses gugatan yang bersangkutan. Di sini harus menggambarkan adanya suatu kepentingan yang hendak dicapai tentang mengapa dilakukan proses gugatan. Bila ada kepentingan maka baru boleh berproses.

Sekarang bagaimana kita menentukan subjek sengketa Tata Usaha Negara yang dapat dikatagorikan sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Untuk itu terlebih dahulu dikutip rumusan otentik yang diberikan oleh Pasal 1 angka 2 UU-PTUN berbunyi :“Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dari rumusan tersebut terdapat 2 (dua) kriteria untuk menentukan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yaitu :

1. Melaksanakan urusan pemerintahan.

2. Berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Kriteria yang pertama untuk dapat didudukan sebagai Badan atau pejabat Tata Usaha Negara adalah melaksanakan urusan pemerintahan. Jadi bagi mereka yang tidak melaksanakan tugas urusan pemerintahan tidak dapat disebut sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Perihal ruang lingkup urusan pemerintahan sudah dijelaskan sebelumnya.

Kriteria kedua yang dipenuhi agar dapat disebut sebagai Badan atau Pejabat tata Usaha Negara adalah bahwa dalam melaksanakan urusan pemerintahan harus didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan perundang-undangan dimaksud UU-PTUN membedakan ke dalam dua jenis, yaitu :

1.Semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan rakyat bersama pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.

2.Semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata usaha negara,baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah,yang juga bersifat mengikat secara umum.

Untuk jenis peraturan-perundang-undangan tersebut pertama, jika dihubungkan dengan pembagian undang-undang dari P. Laband[5] merupakan undang-undang dalam arti formil (dilihat dari segi bentuknya dibuat oleh pembentuk undang-undang, baik itu undang-undang yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden, Peraturan daerah propinsi, Kota maupun kabupaten) maupun dalam arti materiil (tiap keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara – tidak peduli bentuknya/cara terjadinya yang menurut isinya langsung mengikat para penduduk sesuatu wilayah). Sedangkan jenis peraturan perundang-undangan yang kedua merupakan undang-undang dalam arti materiil yang dikenal dengan istilah “peraturan”.

Dari kedua kriteria di atas dapatlah dikatakan bahwa yang dapat disebut sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah siapa saja yang memiliki tugas yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan urusan pemerintahan. Dengan demikian, untuk menentukan suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara atau bukan, kriterianya ditekankan pada fungsinya. Apabila fungsinya itu adalah dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan, maka dapat disebut sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Jadi bukan saja dilihat dari segi kedudukannya secara struktural termasuk dalam organ pemerintahan.

Karena kriterianya adalah sebagaimana telah dijelaskan di atas maka tidak tertutup kemungkinan bahwa pihak swasta pun dapat berkedudukan sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara asalkan memenuhi kedua kriteria tersebut di atas. Dalam perkembangannya, masalah penyelenggaraan urusan pemerintahan itu sekarang bukan lagi dominasi/monopoli organ-organ pemerintahan. Pihak swasta kini dapat pula menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan yang dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Misalnya di bidang pendidikan dengan berdirinya berbagai sekolah atau perguruan tinggi swasta, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), dan sebagainya.

Meskipun telah memenuhi kedua kriteria di atas, namun Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut belum dapat digugat atau dijadikan tergugat. Untuk didudukan sebagai tergugat maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara harus telah mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara. Selama belum ada wujud secara konkret berupa Keputusan Tata Usaha Negara maka selama itu Badan atau pejabat Tata Usaha Negara belum dapat digugat. Dengan kata lain, Badan atau Pejabat tata Usaha Negara baru dapat digugat apabila telah mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1 angka 6 UU-PTUN yang selengkapnya berbunyi :“Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya,yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.”

Ketentuan tersebut pada hakikatnya merupakan pembatasan terhadap ruang lingkup kompetensi Peratun. Dikatakan pembatasan oleh karena dengan ketentuan tersebut berarti hanya Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menggunakan wewenangnya untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang berwujud Keputusan Tata Usaha Negara sajalah yang dapat sebagai tergugat dalam sengketa Tata Usaha Negara. Jika dianut secara luas maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menggunakan wewenangnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dapat dijadikan tergugat dalam sengketa Tata Usaha Negara, meskipun tidak ada wujud konkret berupa Keputusan Tata Usaha Negara.

Apabila rumusan Pasal 1 angka 2 dihubungkan dengan Pasal 1 angka 6 UU-PTUN maka dapat dikatakan bahwa untuk dapat dijadikan tergugat maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara telah menggunakan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan (wewenang yang dimiliki oleh Badan atau pejabat tata Usaha Negara hanya bersumber pada peraturan perundang-undangan yang berlaku saja) dalam rangka menyelenggarakan urusan pemerintahan. Wujud konkret penggunaan wewenangnya tersebut adalah berupa Keputusan Tata Usaha Negara. Ini berarti meskipun Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menggunakan wewenangnya tetapi tidak terdapat wujud konkret berupa Keputusan Tata Usaha Negara maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan tidak dapat dijadikan tergugat dalam sengketa Tata Usaha Negara.

Setelah diuraikan tentang seluk beluk subjek dalam sengketa Tata Usaha Negara di atas, kini saatnya untuk menguraikan tentang objek sengketa Tata Usaha Negara, yaitu Keputusan Tata Usaha Negara. Secara otentik pengertian Keputusan Tata Usaha Negara dirumuskan dalam Pasal 1 angka 3 UU-PTUN yang selengkapnya berbunyi : “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”

Dari rumusan tersebut kita dapat mengetahui tolok ukur untuk menentukan ruang lingkup Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang dapat dijadikan objek sengketa Tata Usaha Negara, yaitu :

1. Penetapan tertulis.

2. Dikeluarkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.

3. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara.

4. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

5. Bersifat konkret, individual, dan final.

Ad.1. Penetapan tertulis

Penetapan Tertulis itu harus dalam bentuk tertulis, dengan demikian suatu tindakan hukum yang pada dasarnya juga merupakan Keputusan TUN yang dikeluarkan secara lisan tidak masuk dalam pengertian Keputusan TUN ini. Namun demikian bentuk tertulis tidak selalu disyaratkan dalam bentuk formal suatu Surat Keputusan Badan/Pejabat TUN, karena seperti yang disebutkan dalam penjelasan pasal 1 angka 3 UU No. 5 tahun 1986, bahwa syarat harus dalam bentuk tertulis itu bukan mengenai syarat-syarat bentuk formalnya akan tetapi asal terlihat bentuknya tertulis, oleh karena sebuah memo atau nota pun dapat dikategorikan suatu Penetapan Tertulis yang dapat digugat (menjadi objek gugatan) apabila sudah jelas:

- Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkannya.

- Maksud serta mengenai hal apa isi putusan itu.

- Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya jelas bersifat konkrit, individual dan final.

- Serta menimbulkan suatu akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata

Ad.2. Dikeluarkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

Siapa yang dapat dikualifikasikan sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sudah dijelaskan pada uraian sebelumnya. Hal yang harus diingat adalah bahwa untuk mengkualifikasikan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara jangan dilihat dari segi strukturnya tetapi dilihat arti segi fungsinya dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan (tidak melaksanakan fungsi membuat undang-undang dan mengadili) berdasarkan wewenangnya yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

Ad.3. Berisi tindakan Hukum Tata Usaha Negara

Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa suatu Penetapan Tertulis adalah salah satu bentuk dari keputusan Badan atau Pejabat TUN, dan keputusan yang demikian selalu merupakan suatu tindakan hukum TUN, dan suatu tindakan hukum TUN itu adalah suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau menghapuskannya suatu hubungan hukum TUN yang telah ada. Dengan kata lain untuk dapat dianggap suatu Penetapan Tertulis, maka tindakan Badan atau Pejabat TUN itu harus merupakan suatu tindakan hukum, artinya dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum TUN.

Ad.4. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Kata “berdasarkan” dalam rumusan tersebut dimaksudkan bahwa setiap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN harus ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena hanya peraturan perundang-undangan yang berlaku sajalah yang memberikan dasar keabsahan (dasar legalitas) urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat TUN (pemerintah). Dari kata “berdasarkan” itu juga dimaksudkan bahwa wewenang Badan atau Pejabat TUN untuk melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan itu hanya berasal atau bersumber ataupun diberikan oleh suatu ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ad.5 Bersifat konkret, individual, dan final

Keputusan TUN itu harus bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, seperti Pemberhentian si X sebagai Pegawai, IMB yang diberikan kepada si Y dan sebagainya.

Bersifat Individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu dan jelas kepada siapa Keputusan TUN itu diberikan, baik alamat maupun hal yang dituju. Jadi sifat indivedual itu secara langsung mengenai hal atau keadaan tertentu yang nyata dan ada. Bersifat Final artinya akibat hukum yang ditimbulkan serta dimaksudkan dengan mengeluarkan Penetapan Tertulis itu harus sudah menimbulkan akibat hukum yang definitif. Dengan mengeluarkan suatu akibat hukum yang definitif tersebut ditentukan posisi hukum dari satu subjek atau objek hukum, hanya pada saat itulah dikatakan bahwa suatu akibat hukum itu telah ditimbulkan oleh Keputusan TUN yang bersangkutan secara final. Jika suatu keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara telah memenuhi kelima unsur di atas maka secara yuridis formal hal itu merupakan KTUN dalam pengertian menurut UU-PTUN.

B. WEWENANG PERATUN ?

Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan dalam lingkup hukum publik, yang mempunyai tugas dan wewenang : “memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, yaitu suatu sengketa yang timbul dalam bidang hukum TUN antara orang atau badan hukum perdata (anggota masyarakat) dengan Badan atau Pejabat TUN (pemerintah) baik dipusat maupun didaerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu Keputusan TUN (beschikking), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku “ (vide Pasal 50 Jo. Pasal 1 angka 4 UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004).

Secara yuridis, menurut Indroharto pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum. Hal senada juga diberikan oleh S.F.Marbun[6] bahwa wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam memperoleh wewenang tersebut dapat melalui dua cara pokok yaitu memalui atribusi dan delegasi (perhatikan Pasal 1 angka 6 UU-PTUN anak kalimat “berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya”). Selain itu, wewenang dimaksud dapat juga diperoleh melalui mandat.

Atribusi berasal dari bahasa latin, yaitu attributio artinya ciri atau tanda yang melekat pada sesuatu dan oleh karena itu, tidak dapat ditukar-tukar. Pada atribusi telah terjadi pemberian suatu wewenang baru oleh suatu peraturan perundang-undangan (baik dalam arti formil dan/atau materiil). Di sini peraturan perundang-undangan telah melahirkan atau menciptakan wewenang baru yang sebelumnya tidak dimiliki oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana pun dan setelah tercipta wewenang itu hanya dimiliki (sebagai ciri atau tanda) oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Wewenang yang diperoleh melalui atribusi ini merupakan wewenang yang diperoleh secara orisinil (asli) karena wewenang tersebut merupakan wewenang yang baru, yang sebelumnya belum pernah ada dan langsung diciptakan dan diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Pertanggungjawaban terhadap wewenang dimaksud dibebankan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang ditunjuk langsung oleh peraturan perundang-undangan dan tidak kepada siapa pun selain yang bersangkutan sendiri.

Sedangkan wewenang yang diperoleh melalui delegasi merupakan wewenang yang diperoleh secara tidak orisinil artinya sebelumnya telah ada yang memiliki wewenang tersebut. Jadi pada delegasi telah terjadi pelimpahan wewenang oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara lainnya. Karena itu suatu delegasi selalu didahului oleh adanya wewenang atribusi. Delegadi atau pelimpahan wewenang demikian harus dilakukan melalui peraturan perundang-undangan.

Pada pelimpahan wewenang, pertanggungjawaban dibebankan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menerima pelimpahan wewenang dan bukan kepada yang melimpahkan wewenang. Pada wewenang yang diperoleh melalui mandat maka yang menerima mandat hanya sebagai pelaksana wewenang yang dimiliki oleh yang memberi mandat. Pelaksanaan wewenang berdasarkan mandat pada umumnya terjadi karena hubungan rutin antara atasan dan bawahan. Pertanggunganjawaban terhadap semua tindakan hukum yang dilakukan oleh penerima mandat dibebankan kepada pemberi mandat.

Dalam pada itu juga harus diingat bahwa secara teoritis dikenal adanya hukum yang tidak tertulis sebagai sumber Hukum Administrasi Negara.Karena itu, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang melakukan tindakan hukum Tata Usaha Negara selain harus dapat menemukan sumber wewenangnya dalam ketentuan-ketentuan hukum yang juga harus memperhatikan hukum yang tidak tertulis yang dikembangkan oleh teori hukum maupun yurisprudensi yang dikenal dengan sebutan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

III. KESIMPULAN

- Ruang Lingkup yang ada dalam PERATUN ada tiga aspek (Bidang) yang ada, aspek-aspek itu meliputi : : Bidang Sengketa (Tata Usaha negara), Subjek Sengketa (orang atau badan hukum perdata dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara), Objek Sengketa (Keputusan Tata Usaha Negara.)

- Wewenang PERATUN adalah untuk memeriksa memutus dan mnyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.

IV. PENUTUP

Demikian hal yang dapat saya susun semoga, apa yang telahay berikan dapat memberikan suatu wacana walaupun sedikit. Tetapi penulis masih yakin apa yang telah saya lakukan belum dapat mendekati kepada sebuah kebenaran yang mutlak dan sermpurna. Jadi dari penulis mohon sebuah saran yang bersifat konstruktif demi kemaslahatan bersama. Akhir kata saya mohon maaf atas segala kekurangan yang ada.

Daftar Pustaka

- E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Hukum Indonesia, Buku Indonesia, Jakarta, cet. 2.

- F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administratif Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997,

- Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996

- Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, edisi Revisi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara



[1] . prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara,Edisi Revisi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 71.

[2] .Ibid, Prajudi Atmosudirjo

[3] Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,Buku II Beracara Di Pengadilan Tata Usaha Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hlm. 46.

[4] Indroharto, Ibid., hlm. 37.

[5] .Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Penerbitan dan Balai Buku Indonesia, Jakarta, Cetakan Kedua, hlm. 71.

[6] F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara Dan Upaya Administratif Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997, hlm. 154.

Fiqh Mu'amalah

FIQH MU'AMALAH

BAB I

PENGERTIAN MUAMALAH

Muamalah menurut arti luas seperti yang dikemukakan Al-Dimyati “Menghasilkan Duniawi, Supaya menjadi sebab suksesnya masalah Ukhrawi. Dengan demikian muamalah adalah aturan (Hukum) Allah untuk mengatur manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan manusia. Sedangkan muamalah dalam arti sempit adalah aturan-aturan Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta benda.

Perbedaan antara keduanya adalah kalau muamalah dalam arti luas mengatur Waris, misalnya masalah waris padahal sampai saat ini waris telah ada disiplin ilmu sendiri, sedangkan maumalah dalam arti sempit tidak mengatur yang namanya waris. Sedangkan kalau kesamaan antara keduanya adalah sama-sama mengatur hubungan manusia dengan manusia.

Pembagian Muamalah

Menurut Ibn Abidin muamalah terbagi menjadi lima bagian :

a. Mu’awadlah Maliyah (Hukum Kebendaan)

b. Munakahat (Hukum Perkawinan)

c. Muhasanat (Hukum Acara)

d. Amanat dan Ariyah(Pinjaman)

e. Tirkah (harta peninggalan)

Sedangkan menurut Al-Fikri dalam Kitabnya “Al-Muamalah al-Madiyah wa al-Adabiyah” menyatakan muamalah di bagi menjadi 2 :

a. Al-Muamalah al-Madiyah adalah muamalah yang mengkaji objek sehingga sebagian ulama berpendapat bahwa muamalah ini adalah bersifat kebendaan.

b. Al-Muamalah al-adabiyah adalah muamalah yang mengkaji cara bertukar yang menggunakan panca indera.

Ruang Lingkup Muamalah

Ruang lingkup fiqh muamalah di bagi dalam dua ruang lingkup, muamalah adabiyah muamalah yang mengatur ijab qabul, saling meridhai, tidak ada keterpaksaan dari salah satu pelaku. Ruang lingkup muamalah yang kedua adalah muamalah madiyah membahas tentang jual-beli, gadai, jaminan dan tanggungan, pemindahan hutang dan lain-lain.

BAB II

KEDUDUKAN DAN FUNGSI HARTA

Harta dalam bahasa arab di sebut al-mal yang berarti condong, cenderung, dan miring. Sedangkan harta menurut istilah imam Hanafiyah “Sesuatu yang di gandrungi tabiat manusia dan memungkinkan untuk di simpan hingga di butuhkan” . menurut Hanafiyah manfaat bukan termasuk harta tetapi manfaat termasuk milik. Milik adalah sesuatu yang dapat digunakan secara khusus dan dicampuri penggunaanya oleh orang lain. Harta sesuatu yang dapat disimpan dan dapat digunakan ketika di butuhkan.

Menurut Ash-Shiddieqy menyebutkan bahwa harta adalah nama selain manusia, dapat dikelola, dapat dimiliki, dapat diperjualbelikan dan berharga, konsekuensi dari ini adalah :

1. Manusia bukanlah harta sekalipun berwujud

2. Babi bukanlah harta karena babi bagi manusia Muslimin haram diperjualbelikan.

3. Sebiji beras bukanlah harta karena sebiji beras tidak memiliki nilai (harga) menurut Urf’

Unsure-Unsur Harta

Para fuqaha membagi harta dalam dua unsur yaitu unsur ‘aniyah ialah harta itu ada wujudnya dalam kenyataan (a’ayan). Kedua unsur Urf’ segala sesuatu yang dipandang harta oleh seluruh manusia atau sebagian manusia, tidaklah manusia memelihara sesuatu kecualai menginginkan manfaatnya, baik manfaat madiyah maupun manfaat ma’nawiyah.

Kedudukan Harta

Didalam surat al-kahfi ayat 46 menerangkan bahwa harta dan anak adalah perhiasaan kehidupan dunia. Jadi dalam hal ini bahwa harta mempunyai kedudukan yang sama dengan anak, jadi kebutuihan manusia terhadap harta merupakan kebutuhan yang mendasar, karena harta di posisikan seperti kedudukannya dengan anak.

Pembagian Harta

Menurut fuqaha, harta dapat di tinjau dari beberapa segi. Harta terdiri dari beberapa bagian, tiap-tiap bagian memiliki ciri khusus dan hukumnya tersendiri. Pembagian jenis harta ini seperti berikut :

a. harta Mutaqawwin dan ghoiru Mutaqawwin

b. Mal Mitsli dan Mal Qimi

c. Harta Istihlak dan Isti’mal

d. Harta Manqul dan ghaoiru Manqul

e. Harta ‘Ain Dan Harta Dayn

f. Mal Al-‘ain dan mal al-naf’I (manfaat)

g. Harta Mamluk, Mubah Dan Mahjur

h. Harta yang dapat di nagi dan HArta yang tidak dapat di bagi,

i. Harta Pokok Dan Harta Hasil (Buah)

j. Harta Khas dan harta ‘am

BAB III

Hak Milik

Asal Usul Hak Milik

Manusia adalah manusia yang saling ketergantungan antara yang satu dengan yang lain dan mereka tidak akan bisa hidup tanpa ketergantunan kepada orang kain. Dan dari ketergantungan inilah yang akan rentan menyebabkan adanya perselisihan diantara mereka maka dari itu semuanya tercipta adanya atau timbullah hak dan kewajiban diantara sesama. Hak milik diberi gambaran nyata oleh hakikat dan sifat syariat islam sebagai berikut :

- Tabiat sama sifat syariat islam ialah merdeka (Bebas).

- Syariat islam dalam menghadapi berbagai kemusykilan senantiaasa bersandar kepada maslahat \(kepentingan umum) sebagai salah satu sumber hokum.

- Corak ekonomi islam berdasar Al-qur’an dan al-hadits.

Pengertian Hak Milik

menurut pengertian umum hak milik “suatu ketentuan yang digunakan oleh syara’ untuk menetapkan suatu kekuasaan atau suatu beban hokum”. Hak milik ada juga yang didefinisikan sebagai berikut : “Kekuasaan mengenai sesuatu atau sesuatu yang wajib dari seseorang kepada yang lainnya”. Ketika seseorang telah memiliki suatu benda yang sah menurut syara’ maka orang itu berhak segalanya atas benda tersebut. Dan penggunaannya ada ditangan sang pemilik.

Pembagian Hak Milik

Dalam pengertian umum hak di bagi 2 :

- hak mal “sesuatu yang berpautan dengan harta, seperti pemilikan benda-benda atau utang-piutang”.

Hak ghoiru mal hak ini di bagi lagi mnajdi dua : Hak Syakhshi “suatu tuntutan yang ditetapkan syar’ dari seseorang terhadap orang lain”. Hak ‘aini ialah hak orang dewasa dengan bendanya tanpa dibutuhkan orang kedua. Dan hak ‘aini ini di bagi lagi menjadi dua yaitu hak ‘aini sahli dan hak aini thabi’i.

Sebab-Sebab Pemilikan

Factor-faktor yang menjadikan benda dapat dimiliki oleh manusia :

- ikraj al Muhabat

- Khalafiyah

- Tawallud Mim Mamluk

- Karena penguasaan terhadap milik negara atas pribadi yang sudah lebih dari tiga tahun.

Klasifikasi Milik

Miulik dalam muamalah dapat di bagi dalam dua bagian :

a. milk tam ialah suatu pemilikan yang meliputi benda dan manfaatnya sekaligus.

b. Milk Naqishah ialah bila seseorang hanya memiliki salah satu dari benda tersebut.

Dilihat dari segi tempat milik dapat di bagi menjadi 3 yaitu :

a. Milk al ‘ain di sebut pula milik al-raqabah yaitu memiliki semua benda,

b. Milk al manfaah ialah seseorang yang hanya memiliki manfaatnya dari barang tersebut.

c. Milk Dayn ialah pemilikan karena adanya utang.

Dari segi cara berpautan milik dengan yang dimiliki dapat di bagi menjadi 2 :

a. milk al-mutamayyiz

b. Milk al-syai’ atau milk al-musya

BAB 4

“UQUD (Perikatan Dan Perjanjian)

Asal-Usul ‘Aqad

‘Aqad adalah bagian dari Tasharruf, dan tasarruf di bagi menjdai 2 : tasharruf fi’li dan tasharruf qauli. Tasharruf fi’li ialah usaha yang dilakukan manusia dengan tenaga dan badannya. Sedangkan tasharruf qauli ialah tasharruf yang keluar dari lidah manusia, dan tasharruf ini di bagi lagi menjadi dua yaitu ‘aqdi dan bukan ‘aqdi.

Rukun-Rukun Aqad

a. aqid

b. Ma’qud ‘alaih

c. Maudhu’ al ‘aqd

d. Shighat al’aqd

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam shighat ialah :

  1. Shighat al-‘aqd harus jelas pengertiannya.
  2. Harus bersesuaian antara ijab dan qabul
  3. Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan.

Para ulama’ menerangkan beberapa yang di tempuh dalam akad :

a. Dengan cara tulisan (kitabah).

b. Isayarat, bagi orang tertentu

c. Ta’athi (saling memberi).

d. Lisan al hal

Syarat-syarat aqad

Syarat terjadinya aqad ada dua macam :

  1. syarat yang bersifat umum yaitu syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad.
  2. Syarat-syarat yang bersifat khusus yaitu syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad.

Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad :

a. orang yang melakukan akad cakap bertindak

b. objek akad dapat menerima hukumnya

c. akad itu di izinkan oleh syara’

d. janganlah akad itu akad yang dilarang syara’

e. akad dapat memberikan manfaat

f. ijab itu berjalan terus

g. ijab dan qabul mesti bersambung.

BAB 5

RIBA

Menurut bahasa riba mempunyai beberapa pengertian :

a. bertambah

b. Berkembang, berbunga

c. Berlebihan atau menggelembung.

Sedangkan riba menurut istilah Al-mali ialah “akad yang terjadi atas penukaran barang tertentu yang tidak diketahui perimbangannya menurut syara’, ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak atau salah satu pihak”.

Sebab-Sebab Haramnya Riba :

a. karena Allah dan rasulNYA melarang atau megharamkannya. Pada surat al-Baqarah ayat 275.

b. Karena riba menghendaki pengambilan harta orang lain dengan tidak ada imbangannya.

c. Dengan melakukan riba, orang tersebut malas berusaha yang sah menurut syara’.

Macam-macam riba :

Menurut Ibn al-Jauziyah riba di bagi menjadi dua : riba Jali dan iba Khafi.

Hal-hal yang menimbulkan Riba

Jika seseorang menjual benda yang mungkin mendatangkan Riba maka disyaratkan :

  1. sama nilainya (tamasul)
  2. sama ukurannya menurut syara’
  3. sama-sma tunai (taqabuh)

Berikut ini yang termasuk riba pertukaran :

  1. seseorang menukar langsung uang kertas Rp. 10.000,00 dengan uang recehan Rp. 9.950,00 uang Rp. 50,00 tidak ada imbangannya.
  2. Seseorang meminjamkan uanag tetapi dengan syarat dikembalikan dengan menambah dari beberapa persen uang yang di pimjam.
  3. Seseorang menukar beras seliter dengan ditukar beras dua liter maka pertukaran tersebut adalah riba karena beras harus di tukar dengan beras yang sama.

BAB 6

JUAL BELI

Pengertian Jual Beli

Jual beli menurut bahasa berarti al-bai' seperti dalam firman Allah yang artinya "Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi"(Fathir:29). Sedang menurut istilah adalah menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan. Inti dari jual beli ialah suatu perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela diantara kedua belah pihak, yang satu menerima benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang telah dibenarkan syara' dan disepakati.

Rukun Dan Syarat jual Beli

Rukun jual beli ada tiga yaitu akad (ijab qabul), orang-orang yang berakad (penjual dan pembeli), dan ma'kud alaih (objek akad).

Syarat-Syarat sah ijab Kabul

a. jangan ada yang memisakan

b. jangan di selingi dengan kat-kata yang lain setelah ijab dan Kabul

c. beragama islam, tetapi syarat ini hanya pada dalam benda-benda tertentu.

Syarat-syart benda yang menjadi objek akad ialah sebagai vberikut :

a. suci atau mungkin utnuk di sucikan

b. memberi manfaat menurut syara'

c. jangan di taklikan

d. tidak di batasi waktunya

e. dapat diserahkan dengan cara cepat

f. milik sendiri

g. diketahui (dapat dilihat)

macam-macam jual beli

jual beli dapat ditinjau dari 2 segi. Di tinjau dari segi hukumnya, jual beli dua macam, jual beli yang sah menurut hokum dan jual; beli yang batal menurut hokum., dari segi objek jual beli dan pelaku jual beli. Menurut imam Taqiyuddin menyatakan jual beli di bagi 3 bentuk :

a. jual beli benda yang kelihatan

b. jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam janji

c. jual beli benda yang tidak ada

Jual beli yang dilarang dan batal hukumnya adalah sebagai berikutr :

1. barang yang dihukumi najis oleh agama

2. jual beli sperma

3. jual beli anak binatang yang masih dalam kandungan

4. jual beli dengan muhaqallah

5. menentukan dua harga untuk satu barnag yang diperjualbelikan

6. jual beli dengan syarat

7. jual beli gharar

8. jual beli dengan mengecualikan sebagian benda yang di jual.

9. larangan menjual makan hingga dua kali ditakar

jual beli yang dilarang agama tetapi sah hukumnya :

a. menemui orang-2 desa sebelum kepasar dengan harga yang murah

b. menawar barang yang sedang ditawar orang lain

c. jual beli najasyi

d. menjual diatas penjualan orang lain.

Khiyar dalam jual beli

Menurut islam dibolehkan memilih apakah akad meneruskan jual beli atau membatalkannya, khiyar di bagi tiga macam :

1. khiyar majelis ialah antara penjual dan pembeli boleh memilih akan melanjutkan jual beli atau membatalkannya

2. khiyar syarat ialah jual beli yang didalam ada sesuatu syarat baik dari penjual maupun pembeli.

3. khiyar 'aib ialah dalam hal ini diisyaratkan kesempurnaan benda-benda yang di beli.

BAB 7

PINJAMAN ('ARIYAH)

Pengertian

'Ariayh menurut bahasa ialah pinjaman, sedangkan menurut istilah yang telah dikemukakan oleh para ahli dapat di simpulkan bahwa ariyah adalah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma.

Rukun dan Syarat 'Ariyah

Menurut syafi'iyah rukun 'ariyah adalah :

    1. kalimatnya mengutangkan
    2. Mu'ir orang yang mengutangkan dan Musta'ir orang yang menerima utang.
    3. Benda yang diutangkan.

tata karma berutang

a. utang-piutang sebaiknya dikuatkan dengan tulisan dan disaksikan oleh saksi

b. peminjaman hendaknya atas dasar kebutuhan yang mendesak

c. pihak piutang hendaknya berniat memberi pertolongan pihak yang berhutang ketika sudah mampu membayar secepatnya untuk melunasinya.

BAB 8

PEMINDAHAN HUTaNG (HIWALAH)

Pengertian

Hiwalah menurut bahasa ialah al-intiqal dan al-tahwil ialah memindahkan atau mengoperkan. Sedangkan menurut istilah yang dikemukakan oleh Hanafiyah yang di maksud Hiwalah "memindahkan yagihan dari tanggung jawab yang berutang kepada yang lain yang punya tangung jawab kewajiban pula.

Rukun dan syarat Hiwalah

Menurut hanafiyah rukun hiwalah hanya satu yaitu ijab dan Kabul yang diklakukan antara pelakunya. Sedangkan syarat hiwalah menurut hanafiyah ialah :

a. orang yang memindahkan adalah berakal

b. orang yang menerima berkal

c. orang yang di hiwalakan jiga berkal dan harus meridhoinya

d. adanay utang Muhil kepada muhal alaih.

BAB 9

PINJAMAN DENGAN JAMINAN (RAHN)

Pengertian

Menurut bahasa gadai berarti al-tsabut yaitu penetapan dan penahanan. Sedangkan menurut istilah ialah menjadikan suatu benda bernilai menurut pandangan syara' sebagai tanggungan utang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.

Rukun dan syart gadai

a. akad ijab dan Kabul

b. aqid ialah yang menggadaikan dan yang menerima gadai (murtahim)

c. barang yang dijadikan jaminan, syarat barang ini adalah tidak rusak sebelum perjanjian

d. ada utang, disyaratkan keadaan utang telah tetap.

Pengambilan manfaat dari barang gadai

Para fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil manfaat dari barang gadaian walaupun telah di izinkan, karena hal ini sama dengan Riba.

Risiko kerusakan Marhum

Bila marhum dibawah kekuasaan murtahim, maka murtahim tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena kelalaian murtahim atau disia-siakan.

BAB 10

SEWA MENYEWA DAN UPAH (IJARAH)

Pengertian

Al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang menurut baasanya ialah al-iwadh yang berarti ganti dan upah. Sedangkan menurut istilah ialah menukar sesuatu dengan ada imbalannya, yang diterjemahkan menjadi se-menyewa dan upah mengupah.

Rukun dan syarat ijara

a. Mu'jir dan Musta'jir adalah baliqh,berakal, cakap melakukan tasarruf, saling meridhai

b. Shighat ijab Kabul, jelas

c. Ujarah diketaui jumlahnya oleh kedua pihak

d. Barang yang dijadikan objek dapat diambil manfaatnya,muba tidak aram,barangnya kekal.

Pembayaran upah dan sewa

Para ulam pendapat bawa pembayaran upah adala setelah pekerjaan itu selesai dan tidak ada pekerjaan yang lain yang sesuai akaf, begitu juga dengan se pembayarannya setelah dapat diambil manfaat barang tersebut. Hak meneria upah bagi musta'jir adalah sebagi berikut :

- ketika pekerjaan selesai dikerjakan

- jika menyewa barang, uang sewaan dibayarka ketika akad sewa, manfaat barang yang diijarahkan mengalir selam penyewaan berlangsung.

Pembatalan dan berakhirnya ijarah

Ijarah akan menjadi batal bila ada hal-hal sebagi berikut :

a. terjadi cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa

b. rusaknya barang yang disewakan

c. rusaknya barang yamh diupahkan

d. terpenuhinya manfaat yang diakadkan

BAB 11

Kerja sama (Syirkah)

Pengertian

Syirkah menurut bahasa al-ikhtilath al-ikhtilath yang artinya campur atau percampuran. Sedangkan menurut isltilah yang dimaksud dengan Syirkah ialah kerja sama anatar dua orang atau lebih dalam berusah, yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama.

Rukun syarat Syirkah

Menurut hanafiyah bahwa rukun syirkah ada dua yaitu iajb dan Kabul sebab keduanya menetukan syirkah. Dan syarat-syarat syirkah menurut hanafiyah di bagi menjadi 4 macam :

  1. sesuatu yang ebrtalian dengan semua bentuk syirkah baik harta maupun dengan yang lainhya.
  2. sesuatu yang bertalian dengan syirkah mal,
  3. sesuatu yang bertalian dengan syarikat muwafadhah
  4. adapun syarat yang bertalian dengan syirkah inan sama dengan syarat-syarat syirkah mufawadhah.

Macam-macam syirkah

Menurut hanafifah syirkah di bagi menjadi dua yaitu syirkah ‘uqud dan syirkah milk. Sedangkan menurut Malikiyah syirkah di bagi beberapa bagian, yaitu syirkah al-irts, syirkah al-ghanimah, dan syirkah al-mutaba’ain sya’\i’a bainahuma. Sedangkan syirkah menurut Hanabilah, Syirkah di bagi menjadi dua macam yaitu syirkah fi al-mal dan syirkah fi al-‘uqud.

Mengakhiri syirkah

Syirkah akan beralhir apabila terjadi hal-hal berikut :

a. Salah satu pihak membatalkannya meskipun tanpa persetujuan.

b. Slah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasarruf.

c. Salah satu meninggal dunia

d. Salah satu pihak ditaruh dibawah pengampuan

e. Salah satu pihak jatuh bangkrutyang berakibat tidak kuasanya lagi atas harta.

f. Modal para angota syirkah lenyap sebelum di belanjakan.

BAB 12

MUDHARABAH atau QIRADH

Pengertian

Mudharabah berasal kata al-dharab, yang berarti bepergian atau berjalan.selain itu disebut juga dengan qiradh yang bersal dari kata al-qardhu yang berarti potongan karena pemilki memoatong sebagian hartanya unguk di perdagangkan untuk mendapat keuntungan.

Sedangkan menurut istilah

Yang diambil dari pengertian yang diungkapkan oleh para ahlinya berate akad anatar pemilik modal sdengan pengelola modal tersebut, dengan syarat bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai jumlah kesepakatan.

Rukun dan Syarat Mudharabah

Menurut ulama Syafi’itah rukun-rukun qiradh ada enan :

  1. pemilik barang
  2. orang yang bekerja
  3. aqad Mudharabah
  4. mal
  5. amal yaitu pekerjaan opengelolaan harta sehingga menghasilakan laba
  6. keuntungan.

Syarat-syarat mudharabah :

  1. modal yang diberiakan berbentuk tunai
  2. orang yang melakuka mampu bertasarruf
  3. modal yang di pergunakan harus jelas biar mudah untuk di bagi
  4. keuntungan natar keduanya harus jelas
  5. melafazkan ijab bagi pemilik modal dengan jelas
  6. mudharabah bersifat mutlak

Biaya Pengelolaan Mudharabah

Biaya mudharib diambil dari harta sendiri, demikian juga bila ia melakukan perjalan untuk kepentingan mudharabah. Jika pemilik modal mengizinkan pengelola untuk membelanjakan modal mudharabah unutk kepentingan pribadi di tengah perjalanan maka ia boleh menggunakan modal midharabah. Pada dasarnya biaya pengeloalaan mudharabha adalah diambil dari biaya pengelola tetapi sdudah menjadi kebiasan bahwa biaya diambil dari modal maka hal yang seperti tiu di perbolehkan.

Pembatalan Mudharabah

a. tidak terpenuhinya sdalah satu atau beberapa syarat mudharabah.

b. Pengelola dengan sengaja meningalkan tugasnya sebagai pengelola modal berbuat sesuatu yang bertentangan denban tujuan akad.

c. Apabila pelaksana atau pemilik modal meniggal dunia atau salah satu pemilik modal meninggal dunia.

BAB 13

MUSAQAH

Pengertian

Musaqah diambil dari kata al-saqa yaitu seseorang bekerja pada pohon tamar,dan pohon-pohon yang lain yang diharapkan dapat menhasilkan kemaslahatna dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang diurus sebagai imbalan. Sedangkan menurut istilah yang diambil dari pendapat para ulama’al-Musaqah ialah akad anatar pemilik da pekerja untuk memelihara pohon, sebagai upahnya adalah buah dari pohin yang diurusnya.

Rukun dan Syarat Musaqah

Rukun-rukun musaqah menurut ulama’ syafi’iyah ada lima :

  1. Shighat, disyaratkan dengan lafazh dan tidak cukup dengan perbuatan.
  2. Dua orang yang berakad,disyaratkan kepada orang-orang yang mampu dalam hal ini baliqh, berakal, dan tidak berda dalam pengampuan.
  3. Kebun dan semua pohon yang berbuah
  4. Masa kerja ini sesuai dengan perkjanjian dan dan ditentuakan juag hal-hal yang perlu dilakukan.
  5. Buah, hendaknya ditentukan bagian masing-masing.

Musaqah yang dibolehkan

Menurutr hanafiyah yang boleh di musaqahkan adalah semua pohon yang berbuah sedangkan menurut syafi’iyah yang boleh dimusaqahkan daalah kurma. Dan waktu lama musaqah ditentuka ketika akad, tetapi bila tidsak ditentuakan pada awal maka waktu yangd igunakan adalah berlaku hingga pohon itu mengashilkan buah yang pertama, dan steklah itu berangsur-angsur.

Wafat salah seorang ‘Aqid

Menurut hanafiyah, apabila salah satu dari pihak ada yang meniggal dunia, sedangkan benda yang di musaqahkan sudah tampak jelas atau sedikit jelas maka keputusan yang atau pengeloalan diserahkan kepada ahli waris. Tetapi apabila para ahli waruis tidak cakap sedangkan buah yang da belum waktunya dipanen maka bias diambil beberap hal di bawah ini :

a. memetik buah dan dibaginya oleh kedua pihak sesuai dengan perjanjian awalnya.

b. Memberikan sejumlah uang kepada ahli waris sejumlah uang karena dialah yang berhak memetik.

c. Pembiayaan pohon sampai panen, dan biaya itu diambil dari penggarap baik diambil dari buahnya atau harganya.

BAB 14

MUZARAAH DAN MUKHABARAH

Pengertian

Menurut bahasa, al-muzara’ah memilki dua rti, yang pertama al-muzara’ah yang berarti tharh al-zur’ah maksudnya adalah Modal (al-hadzar). Makna yang pertama adalah makna majaz dan makana yang kedua ialah makana hakiki. Sedangkan menurut apa yang di paparkan oleh para ulama’ maka anatar keduanya ada perbedaan dan adajuga persamaannnya, persamaanya ialah anatara keduanya terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola, sedangkan perbedaannya ialah pada modal, bila modal berasal dari pengelola maka disebut mikhabarah, sedangkan bila modal dari pemilik tanah maka di sebut muzara’ah.

Dasar hokum Mukhabarah dan Muzara’ah

Dasar yang dfigunakan para ulama untuk menetapkan hokum mukhabarah dan muzara’ah adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas yang artinya “sesungguhnya Nabi Saw. Menyatakan, tidak mengharamkan bermuzara’ah bahkan beliau menyeruhnya, supaya yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya, barangsiapa yang memiliki tanah maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedahnya kepada saudaranya jika ia tiak mau, maka boleh ditahan saja tanah itu ”.

Rukun-Rukun dan syarat-syaratnya

Menurut hanfi rukun muzara’ah secara rinci ada lima yaitu ijab Kabul, tanah, perbuatan pekerja, modal, dan alat-alat untuk menanam. Sedangkan syarat-syaratnya :

  1. harus berakal
  2. tanaman ditentuakan tanaman apa yang aokan ditanam
  3. bagian masing-masing harus ditentukan secara jelaas
  4. tanah tersebut dapat ditanami, tanah tersebut jelas batasannya.
  5. Waktu yang ada harus sesuai denga perjanjian atau sesuai dengan satu kali panen
  6. Alat-alat yang ada harus disediakan oleh orang yang punya tanah.

Hikmah yang ada

Ketiaka sesorang mempunyai sebuah kemampuan atau modal awal tetapi ia tidak mempunyai tanah sehingaga kemampuan yang ada tidak bermafaat,tetapi bila ada muzara’ah maka kemampuan awal tadi yang tidak mempunayi tanah maka bias di manfatakan dan dapat mengahsilkan manfaat untuk menunjang kehidupannya, dan tanah yang ada tida mubazir karena tersebut ada yang mengelola dan tanah tersebut bermanfaat.

BAB 15

Al-SYUF’AH

Pengertian

Al-Syuf’ah menurut bahasa artinya al-Dham, al-Taqwiyah dan al-I’anah, sedangkan menurut istilah pemilikan oleh salah seorang sya’riq dari dua orang atau pihak yang berserikat dengan paksaan terhadap benda syirkah.

Rukun dan Syarat Syuf’ah

Rukun-rukun dan syarat-syarat al-Syuf’ah adalah sebagi berikut :

a. masyfu’, barangnya berbentu tetap,

b. syafi’ tidak ada perbedaan anatar keduanya sehinga barang yang ada milik berdua, meminta dengan segera bila barang itu sudah dijual.

c. Masyfu’ min hu, dalam hal ini harus mempunyai benda terlebi dahulu sebelum secara syarikat.

Pewarisan syuf’ah

Sfai’I berpendapat bahwa syuf’ah dapat diwariskan dan tidaj kenal batal karena adanya kematian, jika seseorang yang berhak menerima syuf’ah meninggal maka penerimaannya itu tidak batal tetapi diwariskan kepad ahli waris yang ada. Alasannya bahwa syuf’ah diqiyaskan kepada Irts.

BAB 16

PERDAMAIAN (AL-SHULH)

Pengertian

Al-Shulh menurut al-sayyid Muhammad Syatha al-Dimyati secara terminology adalah “memutuskan pertengkaran”. Sedangkan menurut istilah al-shulh adalah suatu akad yang bertujuan untuk mengakhiri perselisihan atau persengketaan.

Rukun dan Syarat al-shulh

Rukun-rukun al-shulh adalah sebagi berikut :

a. Mushalih yaitu masing-masing pihak yang melakukan akad perdamaian.

b. Mushalih’anhu yaitu persoalan-persoalan yang diperselisihkan.

c. Mushalih’alaih yaitu hal-hal yang dilakukan salah satu pihak terhadap lawannya untuk memutuskan perkara.

d. Shighat ijab dan Kabul diantara dua pihak yang melakukan akad perdamaian.

Syarat-syarat Mushalih bih adalah sebagai berikut :

  1. Mushalih bih adalah berbentuk harta yang dapat dinilai, dapat diserahterimakan dan berguna.
  2. Mushalih bih dapat diketahui secara lengkap jelas sehingga tidak ada kesamaran yang dapat menimbulkan perselisihan.

Macam-macam perdamaian menurut Idris ahmad perdamaian di bagi menjadi empat bagian :

  1. perdamaian antara muslimin dengan kafir
  2. perdamaian antara kepala Negara dengan pemberontak
  3. perdamaian antara suami isteri
  4. perdamaian dalam muamalat.

Sedangkan Sayyid Sabiq bahwa perdamaian di bagi menjadi tiga macam :

  1. perdamaian tentang iqrar
  2. perdamaian tentang inkar
  3. perdamaian tentang sukut

BAB 17

BARANG TITIPAN

Pengertian

Barang titipan dalam fiqh dikenal dengan al-wadi’ah, menurut bahasa ialah sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya supaya dijaga, berarti wadi’ah adalah memberikan. Makana yang kedua dari segi bahasa adalah menerima. Sedangkan al-wadi’ah menurut istilah ialah penitipan yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak.

Rukun dan syarat al-wadi’ah

Menurut Hanafiyah bahwa rukun wadi’ah ada satu yaitu ijab dan Kabul, dan yang lainnya termasuk syarat. Sedangkan menurut hanfiyyah dala shighat ijab sah apabila dilakukan secra jelas maupun secra tidak jelas (samaran). Sedangkan menurut syafi’iyah al-wadi’ah memilki tiga rukun yaitu :

a. barang yang dititipkan, dengan syarat benda itu bias dimiliki menurut syara’.

b. Oprang yang memberi dan menerima titipan harus baliq, berakal,.

c. Shighat ijab dan Kabul disyaratkan pada ijab Kabul ini dimengerti oelh kedua pihak.

Hukum menerima benda titipan

Dijelaskan oleh sulaiman Rasyid bahwa hokum menerima wadi’ah ada empat :

a. sunat, disunatkan menerima titipan bagi orang yang percaya kepad dirinya bahwa ia sanggup, ini dikatakan suant apabila ada orang lain yang mampu untuk melaksanakan tugas ini.

b. Wajib, ketiak tidak ada orang lain yang mampu untuk mengembann tugas ini dan hanya ia saja yang mampu.

c. Haram, apabila seseorang tidak sanggup dan tidak cakap untuk menjag barang ini, tetapi ia menerima untuk menerima itu, mak haram hukumnya karena ini akan mengakibatkan kerusakan karena ia tidak mapu.

d. Makruh, apabila ada orang yang percaya pada seseorang bahwa ia mampu tetapi ia sendiri ragu maka hukumnya makruh apabila menerima itu.

Rusak dan hilangnya benda titipan

Jika seseorang menerima titipan dan barang tersebut rusak maka tanpa adanya unsure kesengajaan dan hal ini dibuktikan dengan sumpah maka ortang tersebut tidak wajib menggantinya. Menurut ibnu taimiyah apabila seseorang yang memlihara barang titipan kehilangan barang titipannya sedangkan barang yang punya tidak hilang maka oreang ini harus menganti barang yang hilang walaupun tidak ada unsure kesengajaan.

Bila seseorang menerima barang titipan sudah lama ewaktunya dan ia sendiri tidak tahu siapa yang punya dan hal ini sudah diumumkan secra wajar, maka barang tersebut bias digunakan unguk kepentingan agama dengan jalan dipergunakan untuk kepentuingan yang lebih penting dari kepentingan yang lain.
BAB 19

KAFALAH

Pengertian

Al-kafalah menurut bahasa berarti al-dham (jaminan),hamalah(beban) dan za’amah (tanggungan). Sedangkan menurut istilah al-kafalah ialah menggabungkan dua beban (tanggungan) dalam permintaan dan utang.

Rukun dan Syarat al-kafalah

Menurut para ulam rukun dan syarat kafalah adalah sebagai berikut :

1. Dhamin, baliqh,berakal, tidak dicegah membelanjakan hartanya dan dilakukan dengan kehendak sendiri.

2. madmun lah, syaratnya, orang yang berpiuatang diketahui orang yang menjamin,

3. madmun’anhu adalah orang yang berutang.

4. madmun bih, barang ini disyaratkan dapat diketahui dan tetap keadaannya, baik sudah tetap maupun akan tetap.

5. lafadz, disyaratkan keadan lafadz itu menjamin, tidak digantungkan kepada sesuatu dan tidak berarti sementara.

Macam-macam kafalah

Secara umum, al-kafalah di bagi menjadi dua :

a. kafalah dengan jiwa adalah yaitu adanya kemestian (keharusan) pada pihak penjamin untuk menghadirkan orang yang ia tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan.

b. kafalah dengan harta yaitu kewajiban yang mesti ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan pembayaran (pemenuhan) berupa harta.

Pelaksanaan al-kafalah

Kafalah dapat dilaksnakan dengan tiga bentuk :

a. munjaz (tanjiz) ialah tanggungan yang ditunaikan seketika.

b. Mu’allaq (ta’liq) adalah menjamin sesuatu dengan dikaitkan pada sesuatu.

c. Mu’aqqat (taukit) ialah tanggungan yang harus dibayar dengan dikaitkan pada suatu waktu.

Pembayaran dhamin

Apabila orang yang menjamin memenuhi kewajibannya dengan membayar utang orang yang ia jamin, ia boleh meminta kembali kepada madhmun’anhu apabila pembayaran itu atas izinnya.

BAB 19

BARANG TEMUAN

Pengertian

Barang temuan dalam bahasa arab disebut denga al-Luqathah, menurut bahasanaya berarti “sesuatu yang ditemukan atau di dapat”. Sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan al-luqathah ialah memperoleh sesuatu yang tersia-siakan dan tidak diketahui pemiliknya.

Hukum pengambilan barang temuan

Hokum pengambilan barang temuan ini ada beberapa hokum yaitu :

    1. wajib, apabila ia yakin untuk mampu menjaganya dan apabila tidak diambil di khawatirkan akan hilang.
    2. Sunnat, apabila ia yakin untuk mampu menjaganya dan apabila tidak diambil tidak di khawatirkan akan hilang.
    3. Makruh, apabila seseorang menemukan barang, tetapi ia sendiri masih argu bias atau tidak menjag barang itu.
    4. Haram, apabila seseorang yang menmukan yakin bahwa ia tidak mampu untuk menjaganya.

Macam-macam benda yang diperoleh

a. benda-benda yang tahan lama

b. benda-benda yang tidak tahan lama

c. benda-benda yang memerlukan perawtan

d. benda-benda yang memerlukan perbelanjaan

al-ja’alah

bagi seseoarang yang kehilangan barang, maka ia diperbolehkan melakukan pencarauian, hal ini bias dilakukan dengan cara memasang pengumuman di media masa baik eloktronik maupunmedia cetak. Dan al-ja’alah ini mempunyai beberapa syarat :

a. kalimat atau lafaz yang menunjukkan izin pekerjaan, yang merupakan syarat atau tuntutan dengan tukaran tertentu.

b. Keadaan al-ja’alah itu hendaklah ditentukan, uanag atau barang sebelum seseoarang mengerjakan pekerjaan itu.

BAB 20

PEMBERIAN

Pengertian

Pemberian dalam bahasa arab disebut al-hibah, secara bahasa dari hubbub al-rih, yaitu perlewatannya untuk melewatkannya dari tangan kepada yang lain. Dapula yang menyatakan kata ini ebrasal dari kata hab yang berarti istaiqazha (bangu). Sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan ­al-hibah ialah pemilikan yang munjiz (selesai) dan muthlak pada sesuatu benda ketika hidup tanpa penggantian meskipun dari yang lebih tinggi.

Macam-macam hibah

Macam-macam hibah sebagai berikut :

  1. al-hibah, yakni pemberian sesuatu kepada yang lain untuk dimilki zatnya tanpa mengahrapkan penggantian atau balasannya.
  2. Shadaqah, pemeberian kepad seseoarng tanpa mengaharap apa-apa kecualai mengaharap pahala dari Allah SWT.
  3. Washiat, pemberian seseorang kepada yang lain yang diakadkan ketika hidup dan diberikan setelah yang mewasiatkan meninggal dunia.
  4. Hadiah, pemberaian tanpa mengharap pengagntian dan dalam hal ini sebagai untuk bermaksud memuliakan.

Dasar hokum pemberian

Dasar dari pemberian ini adalah anjuran yang ada dalam al-qur’an dan hadits untuk saling tolong menolong ayang adapa pada surat al-maidah ayat 2, dan salah satu tolong menolong dalam hal ini adalah berbentuk memberikan harta kepada orang lain yang betul-betul membutuhkannya. Dan pemberian atau hadiah itu tidak boleh untuk ditolak.

Mencabut pemberian

Para ulama menganggap bahwa permintaan barang sudah dihadiahkan dianggap sekali perbuatan yang buruk, karena pada dasarnya pemberian haram untuk diminta kembali, baik hadiah, shadaqah, hibah maupun washiyat. Hal ini sesuai denga hadits nabi yang diriwayatkan oleh Mutafaq Alaih dari ibnu Abbas bahwa rasulallah bersabda yang artinya :”orang yang meminta kembali benda-benda yang telah diberikan sama dengan anjing yang muntah kemudian memakan kembali muntahannya”.

Hikmah pemberian

Hikmah disyariatkannya hibah adalah sebagai berikut :

  1. hibah dapat menghilangkan penyakit dengki, yakni penaykit hati yang dapat merusak nilai-nilai keimanan.
  2. Hibah dapat mendatangkan rasa saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi.
  3. Hibah atau pemberian dapat menghilangkan rasa dendam, hal ini sesuai sebuah hadits dari Anas r.a.

BAB 21

MAHJUR

Pengertian

Mahjur berasal dari kata al-hajr,hujranan atau hajara secara bahasa adalah, al-man’u (terlarang,terdinding,tercegah, dan terhalang). Sedangkan mahjur menurut istialah adalah cegahan bagi seseorang untuk mengolah hartanya karena adanya hal-hal tertentu yang mengahruskan adanya pencegahan. Dasar yang dugunakan dalam mahjur ini adalah surat Al-nisa ayat 5 dan surat al-baqarah ayat 282.

Mahjur ini memepunayi beberapa tujuan dinatarnya adalah :

a. mahjur di keluarkan guna menjaga hak-hak orang lain

b. mahjur digunakan untuk menjag hak-hak orang yang di mahjur itu sendiri.

Sebab-sebab terjadinya mahjur

  1. dibawah umur hal ini adalah anak-anak yang belum baliqh baik karena akalnya belum matang atau yang lainnya.
  2. Safih (bodoh) ini bias karena kurang akal, bebal, dungu atau umurnya sudah lanjut
  3. Lemah jasmani dan rohani, ini bias karena ia sendiri tidak mampu mengurus dirinya dsendiri.
  4. Hamba (Budak) karena ia sendiri dalam kekuasaan orang
  5. Sedang sakit keras, dalam hal ini orang yang di duga tidak akan sembuh dari sakitnya.
  6. Sedang digadai,barang yang dimilikinya sedang digadaikan.
  7. Waniata bersuami, wanita ini dikarenakan masih dalam ampuan seoarang suami.

Penyitaan harta muflis

Seoarang yang telah jatuh bangkrut hartanya berhak disita dan dijual untuk melunasin hutang-hutang yang dimilkinya, dan hasil penjualan barang sitaan ini nanati akan diberiakan kepada oaring yang pernah ia mintai utang, dan nanati kelbihan itu akan diberkan kemabli kepada yang punya.

Dan apabila seseoarang tidak mau membayar hutang setelah jatuh bangkrut, dan ia melalaikannya maka orang yang menghutanginya berhak untuk mengambil harta orang itu untuk dijual dan atau dinuat mengagnti huatangnya itu dan sisanya harus dikembalikan lagi.

BAB 22

PERWAKILAN

Penegertian

Perwakilan adalah al-wakalah yang menurut bahasa adalah al-hifdz, al-dhaman dan al-tafwidh(penyerahan, pendelegasian, dan pemberian mandat). Sedangkan menurut istilah awakalah adalah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu, perwakilan masih berlaku selam yang mewakilkan masih hidup.

Rukun dan syarat al-wakalah

  1. oaring yang mewakilkan, syarat orang ini ia pemilik barang atau orang yang mempunyai kuasa dan dapat bertindak pada harta itu.
  2. Wakil (yang mewakili), syaratnya adalah orang ini berakal dan baliqh dan tidak gila.
  3. Muwakkal fiih, (sesuatu yang diwakilkan),dengan syarat menerima penggantian, dimilki orang yang berwakil,diketahui dengan jelas.
  4. Shighat, ini diucapkan oleh orang yang membri wakil untuk mengetahui keridhoannya untuk mewakilkan.

Orang yang mewakilkan dalam jual-beli ini dapat mejual harga sesuai harga pasaran yang ada karena dalam hal ini tidak adanya keterangan dari orang yang memberi tugas, tetapi dalam kebebasan ini harus da batasannya karena dalam penjualan harga yang ada harus sesuai dengan pasaran atau pada umumnya sehingga dapat menghindari ghubun (kecurangan), kecuali bila penjualan itu di ridhoi orang yang mewakilkan. Karena pengertian mewakilakan secar mutlak bukan berarti seseorang wakil dapat bertindak semena-mena.

Wakalah dapat berakhir apabila hal itu mengandung usnur-unsur yang ada sebagi berikut :

  1. matinya salah seoarang yang berakad
  2. bila salah satunya ada yang gila
  3. dihentikannya pekerjaan yang dimaksud
  4. pemutusan oleh orang yang mewakilkan, meskipun wakil itu belum mengetahuinya.
  5. Wakil memutuskan sendiri
  6. Keluarnya orang yang mewakilkan dari status pemilikan

BAB 23

WAKAF

Pengertaian

Menurut bahasa wakaf berasal dari waqf yang berarti radiah (terkembalikan),al-tahbis(bertahan),al-tasbil(tertawan), dan al-man’u(mencegah). Sedangkan menurut istilah syara’ ialah menahan sesuatu benda yang kekal zatnya, dan memungkinkan untuk diambil manfaatnya guna diberikan dijalan kebaikan. Dasar hokum dari wakaf ini adalah salahsatunya suarat Al-Haj :77 yang artinya “”berbuatlah kamu akan kebaikan agar kamu dapat kemenangan”.

Wakaf yang ada bukannya tanpa ketentuan, tetapi dalam perwakafan ada ketentuan yang harus ada :

  1. harat wakaf harus tetap
  2. harta wakaf terlepas dari kepemilikan orang yang mewakafkan
  3. tujuan wakaf harus jelas
  4. harta wakaf dapat dikuasakan kepada pengawas
  5. harta wakaf bias berupa tanah atau sebagainya, yang tahan lama dan tidak musnah sekali digunakan.

Rukun dan syarat wakaf

Syarat-syarat wakaf yang bersifat umum adalah sebagi berikut :

  1. wakaf tidak dibatasi waktu karena bersifat selamanya
  2. tujuan wakaf harus jelas
  3. wakaf harus dilaksanakan setelah dinyatakan oelh yang mewakafkan.
  4. Wakaf wajib dilaksanakan tanpa adanya hak khiyar.

Rukun-rukun wakaf :

  1. orang yang berwakaf (wakif)
  2. harta yang diwakafkan (mauqur)
  3. tujuan wakaf (mauquf’alaih)
  4. pernyatan wakaf (shigat waqf)

macam-macam wakaf

menurut para ulama secara umum wakaf dapat di bagi menjadi dua bagian :

  1. wakaf ahli (khusus) wakaf ini disebut juga dengan wakaf keluarga, maksudnya wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau terbilang lain. Dalam artian wakaf yang khusus di tunjuk untuk menikmatinya.
  2. wakaf khairi (umum) ialah wakaf yang sejak semula sudah ditujukan untuk kepentingan-kepntingan umum dan tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu.

Menukar dan menjual harta wakaf

Dalam hal ini harta yang ada boleh untuk diganti dandijual kalau memang benar apabila tidaj diganti atau tidajk dijual nanatinya akan bias menguarang dari fungsi dan tujuan wakaf, karena yang terpenting afalah sebuah subtansi tenatang wakaf adalah kemanfaatan barang tersebut yang sesuai tujuan bukan bentuk barang itu sendiri. Jadi baramng wakaf dapat diganti dan dijual dan digantikan dengan yang lebih bermanfaat.

BAB 24

GHASHAB

Pengertian

Al-ghashab menurut bahasa artinya “pengambilan sesuatu denagn cara yang dzalim yang terang-terangan”. Dan pengambilan sesuatu adri tempat denagn cara rahasia di sebut pencurian. Sedangkan menurut istilah ghashab ialah penguasaan atau pengambilan harta orang lain dengan sengaja dan dengan penindasan. Hokum dan dasar hokum dari ghashab ini dalah suarat al-baqarah ayat 188 yang artinya”dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan bathil.”. dan dari ayat ini bias diambil sebuah hokum bahwa hokum dari ghashab adalah sam dengan mencuri yaitu haram.

Menanami tanah Ghashab

Barang siapa yang menanami tanah hasil ghashab,apabila tanamannya belum dipanen maka tanamannya adalah milik pemilik tanah dan oranmg pemilik tanah hanya mengaganti upah, dan sedangkan apabila tanaman itu sudah dipanen maka pelik tanah hanya bias menrima ganti uang sebagi ganti sewa tanah. Dan apabila tanah hasil ghashab ditanami pohon maka pohon itu wajib di cabut/tebang, dan begitu juga apabila sudah dibangun rumah maka rumah itu harus dibongkar.

Pemanfaatan dan kerusakan barang ghashab

Selam ghashab diharamkan maka pemanfaatn hasil ghashab pun ikut haram, ia berkewajiban untuk mengembalikannya walaupun sedang dikelola, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dan hasil tanamannya dalah dipecah satu untuk pemilki dan satu untuk perampas. Dan jika benda yang dighashab rusak maka perampas wajib mengagntinya senilai dengan barang yang di rampasnya baik dilakukan sendiri maupun akibat factor lain.

Benda ghashab terdapat pada seseorang

Jika seseorang melihatnya benda yang dirampas darinya di pegamng orang lain atau dimilki orang lain maka ia berhak untuk mengambilnya kembali sekalipun perampas telah menjual barang hasil rampasan tersebut, karena ketika waktu akad orang yang menjual barang rampasan belum sah atas barang tersebut maka hal ini menjadikan batalnya akad tersebut, dan secara otomatis tida terjadi yang namanya juala beli.

BAB 25

PERLOMBAAN

Pengertian

Perlombaan dalam bahasa arab disebut dengan musabaqah. Perlombaan disyariatkan karena termasuk olahraga yang terpuji. Dan hukumnya selalu berubah-ubah tergantung kegiatannya. Perlombaan yang tanpa pertaruahndiperbolehkan hal ini karena sudah kesepakatan para ulama. Perlombaan yang menggunakan pertaruhan di bagi menajdi 2 yaitu pertsruhsn ysng diharmkan dan peratruahn yang dihalalkan. Diharamkan apabila salah satu menang memperoleh hadiah dan yang kalah berutang kepada temannya hal seperti ini sama dengan perjudian. Sedangkan perlombaan yang dihalalkan adalah sebagai bertikut :

a. dibolehkan mengambil hadiah apabila hadiah itu dari penguasa atau yang lain.

b. Hadiah dikeluarkan dari salah satu pihak yang berlomba

c. Petaruh itu boleh diambil apabila dating dua orang yang ebrlomba atau beberapa pihak yang berlomba, sementara diantara mereka terdapat salah atau salah satu pihak itu menerima hadiah itu bila diah menang dan tidak berhutang apabila ia kalah.

Bermain nard

Jumhur ulamabermain nard (sejenis dadu) adalah kharam. Mereka menyatakan haram karena sesuai hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ahmad dan Abu Dawud dari Buraidah r.a.,dari Rasulullah yang artinya “barangsiapa bermain nadr syir, maka seolah-olah orang itu mencelupkan tangannya kedalam daging dan darah babi.” . Al-Syaukani berkata bahwa bermain nard adalah ahala (boleh) apabila tidak dibarengi denagn taruhan. Pendapat itu diriwayatkan dari Ibnu Mughaffal dan Ibnu Musayyab.

Bermain catur

Bermain catur masih perbincangan karena ada yang emegatakan aharam,adanya yang mengatakan boleh dan ada yang emnagtakan makruh,. Dan orang-orang yang mengtaakan bermain catur boleh berpendapat bahwa :

a. tidak melalaikan kewajiban agama

b. tidak dicampuri dengan taruhan

c. tidak muncul ditengah permainan hal-hal yang bertentangan dengan syariat Allah.

BAB 26

IHYA AL_MAWAT

Pengertian

Ihya al-mawat adalah dua lafadz yang menunjukkan satu sitilah dalam fiqh dan mempunyai maksud tersendiri. Bila diterjemahkan sendiri-sendiri maka artinya dalah menghidupkan dan dari maut. Dasar hokum dari Ihya al-mawat adalah hadist seperti yang diriwayatkan oleh imam bukhari dari aisyah r.a berkata yang artinay “barangsiapa yang membangun sebidang tanah yang bukan hak seseorang maka dialah yang berhak atas tanah itu”. Dengan adanay hadits tersebut diatas para ulam berbeda pendapat mengenai hokum asal Ihya al-mawat, sebagian ulama ada yang menghukumi ja’iz (boleh) dan sebagian yang lain berpendapat sunat.

Cara-cara yang digunakan dalam Ihya al-mawat dengan menfungsikan tanah yang di sia-siakan . hal ini bisa menggunakan acar-cara sebagai berikut :

  1. menyuburkan, cara ini dengan digunakan untuk daerah yang gersang
  2. Menanam, cara ini digunakan didaerah-daerah yang subur tetapi belum dijamah manusia
  3. Menggarisi atau membuat pagar, hal ini digunakan pada tanah yang laus,karena ia tidak mampu untuk menggunakan sepenuhnya
  4. Menggali parit, membuat perairan disekeliling kebun sebagai pertanda tanah tersebut sudah ada yang menggunakan..

Dalam Ihya al-mawat harus ada izin dari penguasa yang ada karena hal ini seperti hadista Nabi, karena dalam hal ini penguasa adalah yang berahak atas tanah itu dsan bertangung jawab atas wilayah itu sehinga siapa saja warga yamng ingin mengunakan tanah tersebut harus izin dari penguasa atau pejabat yang berkauasa atauberwenanag atas hal itu.

Barang yang ada dalan tanah kosomg itu dapat menjadi milik bersama tanpa yang melarang, hal ini meliputi : air, rumput, dan benda-benda yang dapat dibakar. Dan pesiapa saj tidak boleh melarang dalam pengguanannya.

Barang yang ada didalam tanah yang masih kosong tiu dapat dimilki dan dikuasai seoarang saja sp[erti mas,dan lainsebagai, tetapi tiga hal tadi tidak bisa dimilki hanya seoarang.

BAB 27

PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG BANK

Pengertian

Menurut yan pramadyapuspa menyatakan bank berasal dari bahasa inggris dan belanda yang berate kantor penyipanan uanag. Bank adalah symbol bahwa para penukar uang meletakakn uanagnya diatas meja, meja ini dinakam banko dalam bahasa indonesianya disebut bangku, jadi kat bank diambil dari kata banko sebagai symbol penukaran uang di italai. Masjfuk Zuhdi berpendapat bahwa yang dimaksud bank non-islam adalah sebuah lembaga keuangan yang fungsinya untuk menghimpun dana yang kemudian disalurkan kepada orang atau lembaga yang membutuhkannya guna investasi dalam usaha yang priduktif.

Masyarakat islam dirasa ,masih harus membicarakan tentang adanya bank konvensional, karena secar garis besar ulam kita terbagi dala kelompok yang menanggapi tentang bunga bank, yaitu kelompok yang mengahramkan, kelomp[ok yang menganggap syubhat, dan terakhir kelompok yang mengangap halal. Dan meraka masing-masing sudah mempunyai alasan dan argumentasi tersendiri.

Bank islam

Maksudnay adalah bank yang dalam prosesnya menggunakan system bagi hasil bukan system bunga. Tujuannay adalah sebagai pemacu perkembangan ekonomi dan kemajuan social dari Negara-negar anggota dan masyarakat muslim. Selain itu bank islam untuk menghindari system bungan, manfata dan kegunana bank islam adalah sebagai berikut :

a) Turut serta dalam bentuk modal berimbang

b) Memberikan pinjaman pada sector-sektor usaha yang produktif

c) Membentuk dan mengoperasikan dana khusus untuk orang islsam

d) Menyediakan bantuan teknis kepad Negara-negara anggota

e) Memungut suatu biaya atas jasa-jasa

Sebagai alternative untuk menghindarkan umat islam khusu dari yang namanya bunga bank dan mengatasi hal itu ada cara-cara tersendiri yaitu :

a. wadi’ah dalam operasinya bank islam menerima dana dari masyarakat dan bank akan mengembalikan pada waktunya

b. mudharabah kerja sama antara pemilik modal dan pelaksana

c. musyarakah/syirkah kedua belah pihak patungan dsiap menangung kerugian bersama

d. murabahah jual beli barang denagn tambahan harga atas dasar harga pembelian yang pertama secara jujur.

e. Qardh hasan (pinjaman yang baik)

f. Bank islam boleh mengelola zakat di Negara pemerintahannya

g. Bank islam juga boleh menerima dan memungut pembayarna .

BAB 28

KOPERASI

Pengertian

Koperasi bersal dari kata cooperation yang berarti kerja sama. Sedangkan menurut istialah adalah suatu perkumpulan yang dibentuk oleh para anggota peserta yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan para anggotanya dengan harga yang relative rendah dan bertujuan memajukan tingkat hidup bersama. Sebagian ulama menyebut koperasi dengan yyirkah ta’awuniyah (persekutuan tolong menolong) yaitu suatu perjanjian kerja sama antara dua orang atau lebih, yang satu menyediakan modal, dan yang satu melakukan usaha atas dasar membagi untung menurut perjanjian. Koperasi dibentuk untuk memenuhi kebutuhan anggotanya. Koperasi merupakan salah satu bentuk kerja sama dalam usaha dapat didirikan dengan syarat-syarat sebagai berikut :

  1. dilakukan dengan akta notaris
  2. disahkan oleh pemerintah
  3. didaftarkan dipengadilan negeri
  4. diumumkan dalam berita acara

macam-macam koperasi

dilihat dari segi usahanya :

a. koperasi yang berusaha tunggal

b. koperasi serba usaha

dilihat dari tujuannya :

a. koperasi produksi

b. koperasi konsumsi

c. koperasi kredit

koperasi mahsiswa

bila dilhat yang diatas tentang macam-macam koperasi, yang mana hal itu banyak ragam dan bentuk, hak itu disebabkan karena aspek tujuan dan usahaa yang dilakuakan. Jadi koperasi yang dilhayt dari segi pembuatanya atau anggota maka dalam hal ini koperasi yang ada di kampusr yang mana anggotanya dalah mahsiswa semua. Keuntungan yang didapat dari koperasi mahasiswa (KOPMA) bukan hanya keuntungan yang bersifat finanasiala tetapi yang terpenting adalah keuntungan spiritual (sikap kejiwaan), antara lain :

a. belajar bekerja sama denga teman mahasiswa

b. belajar memikirkan dan memecahkan kepentingan bersama

c. belajar hidup disiplin

d. belajar hidup tunduk pada peraturan

e. belajar hidup jujur

f. belajar hidup bertanggung jawab

g. akan mengetahui harga dan mutu barang

h. belajar hidup percaya pada diri sendiri

BAB 29

KREDIT

Pengertian

Kredit adalah sesuatau yang dibayar secara berangsur-angsur, baik itu dalam jual belia maupun dalam pinjam meminjam. Kredit bisa terjadi pada seseorang yang meminjam uang ke bank atau koperasi, kemudian pinjaman tersebut dibayar berangsur-angsur, ada yang dibayar setiap hari, mingguan, dan adapula yang dibayar satu kali dalam sebulan. Keuntungan dalam kredit yang berjangka pendek sangat sulit sekali yang ditujukan untuk memenuhi kebutuahan likuiditas usaha penawaran atas pinjaman-pinjaman jangaka pendek ke dunia usaha. Kredit yang dibutuhkan untuk jangaka waktu satu minggu atau satu bulan dapat diperkirakan pada tingkat makro, hal ini bisa dilaksnakan oleh bank sentarl yang kemudian menyakinkan suatu penawaran yang seimbang dengan mengubah nisbah permodalan kembali dan nsibah pinjaman. Tugas untuk mengalokasikan dana-dana yang ada ini dilaksnakan oleh bank masing-masing dengan criteria sebagai berikut :

a. kebutuahn perusahaan akan kredit tertentu

b. berprioritas social yang di utamakan

c. jenis jamian

d. apakah pencari krdit mendapt pinjaman jangka panjang rast-rata tahuana, bulanan, dan mingguan dari saldo.

Bank perkreditan

Seorang yang berlangganan pada suatu bank dapat diberikan sebuah account yang berguna untuk melancarkan uasahanya dala pekerjaaan dengan bank. Biasanya hubungan bank dengan langganananya terbatas pad dua arah :

  1. menyimpan uang kredit
  2. Menarik uang itu kembali

Hal yang seprti diatas boleh dalam islam asalakan didalamnbya tidak ada unsure haram. Adapula dalam perkreditan yang disebut kredit konto kuran, maksudnya bank memberikan kepada seseorang ketika sewaktu-waktu meminjam dari bank itu. Hal ini dilakukan oleh seorang pedagang, usahawan dll yang berlindung kepad bank untuk mencari persetujuan mendapatkan sebuah fonds-kapital yaitu sejumlah uang yang diperlukan.

Jual angsur

Jual angsur dikenal pula dengan huurkoop artinya sewa jual, jual dengan sewa atau jual beli denagn cara mengangsur. Menurut ahmad Hasan jual seperti ini diperbolehkan oleh agama, tetapi akadnya adalah akad sewa bukan akad jual beli. Dan hasan basri menyatakan jual beli yang dilakukan pada benda yang maish dalam angsuaran tidak boleh karena benda tersebut masih punya delare jadi akadnya tidak sah karena wewenag barang tersebut masih dalam kekuasaan dealer.

BAB 30

ASURANSI

Pengertian

Menurut pasal 246 KUH Perniagaanbahwa yang dimaksud koperasi adalah suatu persetujuan diman pihak yang meminjam berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan diderita oleh orang yang dijamin. Sedangkan menurut fuad Fachruddin yang dimaksud asuransi adalah suatu perjanjian-peruntungan. Seperti hal koperasi asuaransi juga ada macam-macam :

  1. asuransi timbale balik adalah asuarnsi yang diberiakn kelompok dengan maksud untuk meringankan, dan biasa berkelanjuatan.
  2. Asuransi dagang adalah beberap kelompok atau oreang yang bermufajat untuk menagung kerugian yang dialami salah satu kelompok mereka apabila tibul kecelakaan.
  3. Asuransi pemerintah adalah menjamin pembayaran harga jerugian kepada siapa saja yang menderita di waktu terjadinya suatu kejadian yang merugikan.
  4. Asuransi jiwa adalah auransi jiwa yang telah dipertanguhkan kep[ad pihak lain.
  5. Asuransi atas bahay yang menimpa badan adalah asuransi pada keadaan-keadaan tertentu yang menimpa kerusakan badan.

Pandangan ulama mengenai asuaransi

Seperti hal dengan bunga bank,begitu pula dengan asuaransi ada beberapa pendapat yang dikeluarkan oleh ulamaa mengenai asuransi anatara laian :

  1. mengharamkan asuransi dengan segala macam dan bentuknya
  2. membolehkan asuransi dalam praktiknya dewas ini
  3. membolehkan asuaransi yang bersifat social dan mengharamkan asuransi yang bersiafat komersial
  4. menganggap asuarasnsi bersifat syubhat karena tidak ada dalil –dalil syar’i.

keputuasan konferensi negara-negara islam sedunai mengnai asuransi.

Keputuasan-keputuasan yang diambil itu adalah sebagi berkit :

  1. asuransi yang didalamnya terdapat unsure riba dan eksploitasi adalah haram
  2. asuransi yang bersifat koperatif adalah halal
  3. mengingat pentingnya perdagangan internasional, maka asuransi dalam lingkup ini yang ada sekarang dianggap halal, berdasarkan hokum darurat.

BAB 31

UNDIAN BERHADIAH

Pengertian

Undian berhadiah dikenal juga dengan lotere, maksud lotere menurut Ibrahim Husen adalah salah satu cara untuk menghimpun dana yang dipergunakan untuk proyek kemanusiaan dan kegiatan social. Undian ini biasanya bisa dilakukan dengan beberapa cara. Hal ini untuk merangsang para donator dan biasanya undian dilakukan didepan notaries dan diperuntukkan untuk umum. Disebut sumbangan berhadiah karena pemenangnya pemenangnya akan memperoleh hadiah dari pihak penyelenggara, disebut juga undian harapan karena hadiah yang diharap-harapkan itu penentuannya melalui undian.

Aktivitas yang seperti ini biasanya melibatkan hal-hal sebagi berikut :

  1. penyelenggara, biasanya pemerintah atau swasta yang kegal mendapatkan izin dari pemerintah
  2. para penyumbang adalah dari para pembeli kupon

penerimaan uang lotere menurut abduh

beliau berpendapat bahwa umat islam diharamkan menerima uang hasil undian (lotere), baik secara individu maupun secara kolektif, karena hal itu sama juga memakan harta orang lain dengan jalan bathil. Harta yang bathil menurut beliau adalah harta yang tidak ada imbangannya/imbalan yang diterima dengan sesuatu yang nyata. Agama mengharamkan mengamnil harat tanpa ada imbalannya yang nayat yang dapat dinilai. Dari pendapat Abduh kiranya dapat dipahami bahwa memakan harta dengan bathil ialah :

  1. mencari atau mengambil harta orang lain tanpa adanaya imbalannya yang nyata yang dapat dinilai
  2. menerima dan menambil harta orang lain denagn tanpa ridhanya.

DAFTAR PUSTAKA

Hendi Suhendi. Fiqh Muamalah , Raja Grafindo Persada, Jaharta, 2002

Permainan